"Darah! Tolong!!! Bapak! Ibu!!!"
Teriakan itu menggema dari lantai bawah asrama, memecah keheningan. Suaranya begitu keras, seakan berasal dari dalam ruangan, membuat gema semakin menggelegar. Adam tersentak. Dengan cepat, ia menoleh ke luar jendela, mencoba memahami situasi.
Di sepanjang koridor, suara langkah-langkah tergesa terdengar, jejak kaki yang berpacu menuruni tangga. Beberapa penghuni lain berlari menuju sumber suara, wajah-wajah mereka dipenuhi kecemasan.
"Febi, Bang! Itu Febi!" seru Faiz ketika melihat Adam ikut berjalan menuju lokasi kejadian.
Di antara kerumunan, Febi terduduk gemetar, tangisnya pecah dalam pelukan Bunda Anna dan Maria. Bahunya bergetar hebat, suaranya terisak. Adam berusaha mendengar, tetapi kata-kata yang diucapkan Febi nyaris tenggelam dalam bisikan. Bunda Anna membisikkan sesuatu dengan lembut, mencoba menenangkannya.
Tak jauh dari mereka, Ibu Lina berdiri dengan wajah tegang. Di tangannya masih tergenggam sendok nasi—sepertinya beliau terburu-buru keluar, lupa menaruhnya kembali ke dapur.
Adam mendekat, lalu berbisik, "Bu Lina, Febi kenapa barusan?"
Ibu Lina menggeleng pelan, nada suaranya penuh kecemasan. "Ibu juga kurang tahu. Tadi Febi tiba-tiba teriak-teriak, lalu lari keluar dari aula."
Meskipun bukan pengajar di yayasan, Ibu Lina telah lama menjadi sosok yang dihormati. Sebagai juru masak, beliau bukan hanya sekadar mengurus makanan—tapi juga mengajarkan nilai-nilai kehidupan. Dari tutur katanya, anak-anak belajar cara menghargai tamu. Dari kisah pengalamannya, mereka memahami makna keluarga dan saudara.
Di pangkuan beliau, Riska sering mencari tempat untuk mencurahkan kesedihan. Pada senyuman beliau, Faiz kerap datang ketika merindukan sosok ibu.
Setelah keadaan Febi mulai tenang, Bunda Anna meminta semua penghuni yayasan untuk berkumpul. Ia percaya, bahwa manusia paling mudah diajak bicara saat makan bersama atau saat bermusyawarah. Menasehati anak dengan cara yang tidak menggurui akan membuat mereka lebih terbuka, lebih siap menyimak, dan lebih mudah mengungkapkan apa yang sebenarnya terjadi.
Berkumpul untuk membahas suatu peristiwa sudah menjadi kebiasaan di yayasan. Semua penghuni sepakat bahwa inilah cara terbaik untuk memahami satu sama lain.