"Selain Ibuku, kini kau pun sudah jadi prioritasku." Mata Ailen menatap lembut wajah sosok yang sudah ia kagumi sejak lama. Terhitung dari pertemuan pertamanya saat keduanya resmi menjadi siswa SMP Brilliant.
"Beneran?" tanya Ailen penuh semangat. Ia sampai menyelipkan helai-helai rambutnya ke belakang telinga.
Laki-laki itu tersenyum tipis lalu mengangguk cepat. Ia ikut merapikan poni perempuan yang berada di dekatnya. "Iya. Jadi, jangan ngeselin lagi. Cemburu enggak jelas, uring-uringan pula."
Kedua pipi Ailen mengembung. "Kan, aku sayang sama kamu."
"Iya, aku tahu." Ailen mencoba tersenyum meski terkesan getir. Sebab, sebanyak apapun ia mengungkapkan rasa sayangnya pada laki-laki yang ada di depannya, ia tidak akan mendengar balasan apapun juga selain "Iya, aku tahu".
"Wajar nggak kalau aku cemburu, secara aku nggak punya hak sama kamu selain teman?" tanya Ailen lirih.
Laki-laki itu kembali membuang pandangannya ke depan, menyaksikan siluet senja yang sebentar lagi sempurna.
"Enggak. Kamu berhak, kok. Kita dekat buat apa kalau gitu?" timpalnya.