"Andai saja ada bintang jatuh, aku akan memilih untuk menghilang saja. Biar semesta tahu, bahwa luka yang kurasakan benar-benar semakin mengulitiku."
~ Ailen
***
Cahaya kemerah-merahan di ujung langit mulai berpendar ke semua sisi. Lamat-lamat, cahaya itu menghasilkan warna yang luar biasa, membuat orang terpukau begitu melihatnya. Oleh sebab itu, tak heran apabila banyak orang yang mengabadikan momen itu dengan berbagai ragam kamera setelah beberapa kali menyetel efek resolusi hingga gambar yang terekam juga tampak anggun.
Tapi berbeda kenyataan dengan seorang perempuan yang hanya berdiri tegak di hadapan pemandangan itu. Bukannya menikmati, ia malah menutup kedua netranya dalam-dalam. Kedua tangannya ia bentangkan. Angin yang berembus mengoyakkan rambut panjangnya. Keringat yang masih tersisa dari pelipisnya sudah mulai tersapu akibat terpapar angin.
Ia sedang berada di lantai teratas sekolah di mana ia menuntut ilmu, SMA Brilliant; salah satu sekolah swasta ternama di kota tempatnya tinggal. Ia menjejakkan kakinya di lantai itu bukan semata-mata untuk melihat senja, tetapi untuk menghilangkan lelahnya setelah melakukan ekskul di hari yang begitu panas. Menurutnya, angin yang berembus di sana begitu menyejukkan. Oleh sebab itu, ia seringkali berkunjung ke rooftop sekolah sebelum ia pulang.
Ia membuka matanya kembali ketika ia merasakan matahari sudah tenggelam di ujung pandang. Senyumnya tercetak miring. Apa yang membuat senja begitu diagungkan? Dimuseumkan di segala memori seperti sesuatu yang begitu berharga. Ia menggelengkan kepala.
Senja. Yang kata orang, setia akan kembali apabila rintik awan sedang tidak merengek. Siapa sangka, baginya, senja hanya akan mengingatkannya pada kepergian yang tak tahu rumah untuk kembali―kehilangan lebih tepatnya. Tetapi, sudahlah. Berbicara hal itu hanya akan mengingatkannya pada sosok yang pernah ia kagumi, dan alhasil setiap luka yang sudah ia ramuh setelah ini akan memenjaranya kembali langsung.
"Ailen!"
Baru saja ia akan duduk di atas tembok agar ia semakin menikmati suasana dari atas rooftop yang sudah mulai diselimuti kegelapan, sebuah suara sudah menahannya. Ia berbalik. Matanya langsung melihat seorang perempuan sepantarannya tengah memegang kedua lututnya sembari mengatur napas. Perempuan itu lalu mendekat padanya.
"Kenapa, Nada?" tanyanya.
Sebelah tangan perempuan yang kini sudah berdiri di hadapannya mengatur letak kacamata yang sudah melorot dari posisinya.
"Kebiasaan lo gini mulu. Kenapa enggak nunggu aja di bawah kalau udah selesai ekskul, sih? Capek tahu naik ke sini," sungutnya.
Ailen dengan sebuah lobang yang tercetak di kedua pipinya hanya terkekeh pelan. "Gerah kalau gue di bawah," katanya.
Nada cemberut, "Lain kali nunggu di bawah aja. Ya, syukur kalau gue enggak ngira kalau lo udah pulang."
"Iya, kalau gue enggak lupa."
"Yok, pulang! Udah mau malam ini. Nanti lo malah dimarahin lagi," ucap Nada kembali mengingat tujuannya ke lantai itu.
"Oke."
Keduanya pun menuruni tangga demi tangga. Sekolah sudah tampak sepi, hanya tersisa beberapa siswa yang tengah membereskan peralatan yang digunakan pada saat ekskul tadi.