AILEN terbangun saat mendengar pintu kamarnya terketuk. Ia melihat sekeliling. Di kamar. Pikirannya kembali berputar. Siapa yang memindahkannya ke kamar? Seingatnya, ia berada di balkon semalam.
Ia menyibak selimut yang membungkus separuh badannya lalu berjalan untuk membuka pintu.
"Pagi, Non. Tadi Bapak nyuruh bangunin, takutnya Non telat ke sekolah," ucap Bik Rima.
Kening Ailen terlipat. "Tumben. Ayah emang ke mana?"
"Udah ke kantor, Non. Katanya ada perjalanan bisnis pagi ini ke luar kota. Pulangnya mungkin akan larut," jelas Bik Rima.
Ailen menggaruk pelan ujung dagunya. "Oh, oke. Aku mandi dulu kalau begitu."
"Iya, Non. Bibik siapin sarapannya dulu."
Ailen kembali menutup pintu kamarnya setelah Bik Rima berlalu. Dengan cepat, ia masuk ke dalam kamar mandi setelah menyambar handuk yang ada di belakang pintu. Mandi bukanlah ritual yang membutuhkan waktu yang lama untuk sosok Ailen.
Setelah mandi, ia dengan cepat mengenakan seragam khas SMA Brillant. Ia memastikan penampilannya lebih dulu di depan cermin. Dirasa rapi, ia meraih tas punggungnya yang berwarna hijau toska serta kunci motornya.
Di ruang tamu, Bik Rima tengah mempersiapkan sarapan untuknya.
"Ini sarapannya, Non." Bik Rima menyuguhkan sepiring nasi goreng keju ke hadapannya. Tanpa basa-basi, ia langsung menikmati sarapan itu. Tentu saja ditemani oleh Bik Rima, karena ia tidak bisa apabila makan sendiri.
Ia melirikkan matanya pada jam dinding. Kurang setengah jam lagi, pagar sekolahnya tutup. Ia meneguk habis segelas susu untuk menyudahi sarapannya.
"Bibik jaga rumah, ya. Aku berangkat dulu," pamit Ailen sembari mengenakan tas punggungnya.
"Iya, Non. Yang semangat belajarnya."
Ailen hanya mengulas senyum. Saat ia meraih gagang pintu, ia kembali menoleh ke arah Bik Rima yang tengah membereskan meja makan.
"Bunda keluar lagi, ya, Bik?" tanya Ailen pelan. "Jam berapa perginya tadi?" sambungnya.
Bik Rima menatapnya nelangsa. "Iya, Non. Tak berselang lama setelah Bapak keluar."
Tanpa menimpali lagi, Ailen segera menutup pintu lalu menuju garasi. Setiap suara seperti tadi malam yang sahut-sahutan selesai, Ayah dan Bundanya begitu pandai memainkan peran begitu pagi menjemput. Seperti sedang baik-baik saja. Apa benar begitu? Mungkin.
Ailen melajukan motornya. Jangan sampai ia terlambat lagi.
***
"Len! Ailen!"
Ailen menghentikan langkahnya. Suara cempreng yang begitu dikenalnya. Gadis berkacamata yang selalu kerap kali melorot dari pangkal hidungnya.
"Hobi banget teriak-teriak, Nad. Deketan juga," decak Ailen lalu berbalik hendak melanjutkan langkahnya namun langsung ditahan sama Nada.
"Tunggu dulu, ih! Gue atur napas dulu," ucap Nada. Ia memperbaiki kacamatanya yang kembali melorot.