I.Pagi Yang Hangat
Langit Desa Alana menyambutku dengan cara yang tak biasa — biru pucat tanpa awan, seperti halaman kosong yang menunggu untuk ditulisi. Aku tiba menjelang Ashar, dengan satu ransel dan satu catatan kecil di saku kemeja: daftar mimpi yang belum selesai.
Desa ini tetap sejuk seperti dulu. Udaranya membawa aroma tanah basah, dan suara angin mengalun di antara batang bambu dan ilalang, menyapu pepohonan yang tumbuh rapat di sisi jalan menanjak. Dari atas bukit kecil sebelum belokan terakhir, terlihat kampusku: Universitas Al-Fayruz, berdiri anggun di tengah hamparan sawah, seperti istana yang dipahat dari waktu dan doa.
Aku kembali sebagai mahasiswa semester empat. Dua tahun berlalu dengan cepat—terlalu cepat untuk luka yang belum sembuh, dan terlalu lambat untuk rindu yang tak kunjung hilang.
Kosanku yang baru terletak di pinggir desa, tak jauh dari sebuah klinik kecil. Dua lantai, cat putih sedikit pudar, dan halaman depan yang dipenuhi pot-pot tanaman herbal. Dahan belimbing menjorok ke pagar, dan ada suara air menetes dari selang bocor yang ditampung ember tua.
Aku mengetuk pelan pintu pagar. Tak ada sambutan. Hanya angin sore yang menjawab, melambaikan daun-daun kecil dari pohon jambu. Lalu seseorang muncul dari sisi samping rumah — perempuan, mengenakan baju lengan panjang dan celana kulot hitam. Ia membawa sapu lidi dan masker kain yang menggantung di leher.
Tatapannya tak bertanya, tapi tak juga dingin. Ia hanya mengangguk, menunjuk ke lantai atas. “Kamarmu, nomor dua,” katanya singkat.
Aku mengangguk. Ia kembali menyapu halaman, tanpa menoleh lagi.
Barangkali itu pemilik kos. Atau asisten rumah. Entahlah. Aku belum ingin bertanya apa-apa.
Ada sesuatu dari caranya berjalan yang hening tapi mantap. Seperti seseorang yang sudah terlalu sering mengantarkan orang pergi, dan terlalu jarang menyambut siapa pun datang.
Di lantai atas, aku menemukan kamarku. Tirai krem menggantung longgar di jendela. Satu meja belajar, rak buku kecil, dan sajadah yang digulung rapi di sudut ruangan.
Aku membuka jendela, dan angin gunung langsung menyusup ke dalam, membawa bau kayu dan matahari yang pelan-pelan tenggelam.
Dari atas sini, aku bisa melihat punggung Universitas Al-Fayruz — bangunan berwarna abu dengan kubah biru kehijauan. Di belakangnya, langit memerah seperti luka yang sedang pulih.
Aku duduk di lantai kayu, menyandarkan punggung ke tembok, dan menatap langit tanpa suara.
Hari ini, aku pulang.
Bukan ke rumah. Tapi ke sesuatu yang lebih sunyi.
Ke tempat di mana aku mungkin akan menemukan hal-hal yang tidak pernah aku cari:
Kehilangan. Jawaban. Atau cinta yang hanya tumbuh dalam doa.
II.Pemilik Kos Yang Tidak Banyak Bertanya
Aku belum tahu namanya. Tapi setiap sore, perempuan itu selalu menyapu halaman dan menyiram tanaman seperti sedang merawat luka yang tak kelihatan. Diam, tapi penuh perhatian.
Kos ini cukup tenang, meski dihuni beberapa orang. Di lantai atas, selain aku, ada dua mahasiswa lain: Fadhil — anak Teknik Informatika yang serius dan jarang bicara, serta Naufal — mahasiswa Ilmu Komunikasi yang sering tersenyum pada apa pun, bahkan pada angin.