Aku Mencintaimu Dalam Versi Paling Sunyi

Sophia Tura
Chapter #2

Perempuan dan Secangkir Teh #2

I. Dua Gadis di Ruang Tengah

Kos ini hidup dalam ritmenya sendiri. Pagi dimulai dengan aroma sabun cuci dari dapur, siang diisi suara pintu kamar yang sesekali terbuka, dan malam… adalah waktu bagi semua yang tak ingin menjelaskan diri.

Lantai bawah dihuni oleh tiga perempuan. Yu Jie, yang sekaligus pemilik rumah dan klinik kecil di sebelah; lalu Rima, dan Nadrah — dua mahasiswi yang berbeda seperti matahari dan bulan.

Rima mengambil jurusan Sastra Korea. Rambutnya dikuncir setengah, dan ia gemar memakai kaos bergambar karakter kartun. Ia suka tertawa — bukan tertawa keras, tapi seperti suara air soda yang baru dibuka: ringan dan jujur.

Jika kau melihat lampu ruang tengah menyala jam 10 malam, besar kemungkinan Rima sedang nonton drama Korea sambil makan kuaci dan menangis pelan.

“Cowok ini brengsek, tapi kenapa aku malah suka dia?” katanya malam itu, tanpa sadar aku sedang lewat menuju tangga.

Aku hanya tersenyum kecil, dan ia melambai cepat, “Mau nonton juga? Ini kisahnya sedih-sedih lucu gitu, tapi romantis.”

Aku menggeleng. “Saya nggak kuat drama.”

Rima menatapku sebentar, lalu tertawa kecil. “Jangan-jangan hidup Mas Raihan udah terlalu drama?”

Aku tak menjawab. Tapi mungkin benar.

Nadrah berbeda. Ia mengambil Psikologi Islam. Kalem, jarang bicara, dan seperti menyimpan banyak hal dalam pikirannya. Ia lebih sering membaca buku dibanding menonton, dan memilih menulis jurnal harian daripada mengirim chat.

Suatu malam, aku bertemu Nadrah di dapur. Ia sedang memotong apel, dan aku sedang mencari sendok yang menghilang (lagi).

“Kau sering menulis, ya?” tanyanya tanpa menoleh.

Aku mengangguk.

“Menulis bisa menyelamatkan jiwa,” katanya pendek.

Aku diam. Lalu ia menambahkan, “Tapi hanya kalau kamu tulis yang benar-benar kamu rasakan.”

Ada jeda sunyi.

Lalu ia berbalik, menatapku sebentar. “Yu Jie membaca banyak buku kedokteran... tapi sepertinya sedang menulis buku lain sekarang.”

Aku tak bertanya maksudnya. Tapi sejak malam itu, aku mulai memandang ruang bawah kos ini bukan sekadar tempat tinggal.

Ia seperti taman yang pelan-pelan tumbuh di hati setiap penghuninya.

Di suatu malam lain, aku melihat pemandangan ganjil dari tangga:

Rima tertidur di sofa ruang tengah, remote TV tergeletak di lantai, dan layar menampilkan adegan dua tokoh saling berpapasan di bawah hujan. Nadrah menutupi tubuh Rima dengan selimut tipis, lalu kembali ke kamarnya tanpa suara.

Di pojok ruangan, Yu Jie duduk di kursi baca. Cahaya lampu menyinari wajahnya yang tenang. Di tangannya, sebuah buku tertutup.

Matanya menatap hujan di luar jendela — tidak menatap, lebih tepatnya… mengingat.


II. Klinik dan Anak-Anak Desa

Ada satu kebiasaan baru yang kutemukan di minggu kedua tinggal di kos ini:

Lihat selengkapnya