Aku Mencintaimu, Tapi (tak) Bisa

Rara
Chapter #1

Hari yang Buruk

"Akh!" Seorang pria sedang menunggu di dekat tiang lampu lalu lintas yang memijarkan warna merah, hendak menyebrang. Meski tampak seperti tak ada kendaraan yang lewat, ia masih menahan diri. Wajahnya begitu kusut, harus merelakan sesuatu. Hingga aba-aba lampu berubah hijau, ia bergegas untuk melewati zebra cross.

Tiba di seberang jalan, pria itu terus berjalan tanpa membelokkan langkah. Sudah tak mungkin baginya untuk kembali lagi, keputusan yang sulit. Semua sudah selesai, ia harus bersiap untuk menghadapi yang ada di depan.

"Wan!"

"Eh?" Pria itu tertegun beberapa detik setelah telinganya menangkap suara teriakan seorang gadis dari arah belakang. Rasanya, ia mengenal suara itu. "Bukan, bukan." Berusaha untuk mengabaikan, meyakinkan diri lalu meneruskan perjalanan.

"Wan!"

Lagi, pria itu mendengar panggilan yang sama untuk kedua kalinya. Apakah tak salah dengar? Tak bisa jika seperti ini. Memastikan, ia langsung membalikkan tubuh dan memandang ke arah jalur penyebrangan yang sempat ia lalui. Seketika, ia membulatkan mata.

Brak!

***

Bruk!

"Ras, lo gak pa-pa, kan?" tanya Fania mendekati seorang gadis bernama Laras yang tersungkur di atas lantai. Ia melirik sebentar ke arah laki-laki yang telah membuat temannya itu jatuh.

Laras sedikit meringis sakit, sesaat. Ia mengerutkan wajah seraya sedikit meremas rok saat mengetahui seorang pemuda berompi krem yang jongkok di hadapannya. Ingin sekali marah, tapi ia berusaha meredamnya. "Ish!"

"Lo gak pa-pa?" tanya pemuda itu merasa bersalah. Ia mengulurkan tangan untuk membantu gadis itu bangun. Namun, gadis itu sama sekali tidak mempedulikan dirinya dan lebih memilih dibantu oleh Fania. Merasa tindakannya sia-sia, ia kembali berdiri.

"Maaf," pinta pemuda itu hati-hati. Namun gadis itu tidak memperlihatkan keramahan. Yakin, jika gadis itu sangat kesal kepadanya. Lagi, gadis itu mengabaikan dan berlalu begitu saja. Hanya diam, ia melihat kepergian gadis itu.

"Maaf, Rafa," ucap Fania kepada pemuda itu kemudian menyusul Laras yang pergi terlebih dahulu.

"Jutek banget," ujar Rafa, sendirian. Ia tertawa kecil untuk beberapa detik.

"Cewek unik," lirih Rafa lalu melihat kembali arloji di tangan. Seketika, raut wajahnya berubah. Teringat, ia telah melupakan sesuatu dan mengusap-usap leher belakang. Buru-buru ia berlari, karena ia sudah terlambat ke gedung basket.

***

"Huh," hela nafas Laras dengan berat. Sendiri, ia berjalan di lorong sekolah. Ia juga menengok ke belakang dan tak mendapati Fania. Sepertinya, ia terpisah dengan Fania setelah insiden beberapa waktu lalu. Ia tak tahu lagi dengan dirinya saat mengingat hal itu. Menurutnya, payah sekali.

Laras merupakan siswi baru yang akan memulai kembali masa SMA setelah meninggalkan sekolah lama karena tuntutan pekerjaan orang tua. Meski terasa tak mudah, setidaknya ia mendapat satu teman sebaya, Fania, anak tetangga di tempat tinggalnya saat ini. Berharap, akan ada masa depan yang indah untuknya.

"Konyol," gumam Laras lalu melepas almamater abu-abunya. Kemudian, mengikat kedua lengan jasnya di pinggang. Tak mau berpura-pura lagi. Tapi mungkin, ia akan kesulitan.

Laras mengusap kepangan pendek dari sebagian rambut yang menghias di belakang telinga kiri. Kemudian tangan kanannya merogoh sesuatu dari saku kemeja, mengambil sebatang permen karet. "Em?" Ia mengunyah satu buah permen empuk setelah mengupas bungkusnya. Sekejap, ia mengukir senyuman dan memulai kembali langkah mengikuti alur koridor.

Dari arah berlawanan, dua orang pemuda berjalan, berdampingan. Di sisi kiri, seseorang bertubuh tinggi tegap berkemeja tanpa memasukkan bagian bawah baju ke dalam celana, cukup tidak rapi dengan wajah dingin tak berekspresi. Sedangkan di sisi kanan, seorang bertubuh gempal yang mengenakan kemeja tanpa dasi dan jas almamater, tengah asyik bermain dengan ponsel. Mereka adalah Andra dan Gen.

Dengan langkah tenang, Laras sesekali meniup gelembung permen karet dan menatap bosan sekeliling termasuk dua laki-laki yang berjalan dari arah depan. Semakin dekat, dua orang itu membelah jarak ke samping dan memberikan dirinya jalan di tengah tanpa hambatan. Ia tak perlu menepi atau menggeser posisi.

Lihat selengkapnya