Aku Mencintaimu, Tapi (tak) Bisa

Rara
Chapter #2

Bumerang & Anak Panah

***

"Sorry," pinta Rafa memulai pembicaraan saat perjalanan. Tapi, dia tak mendengar apa-apa dari gadis itu. "Sebentar lagi, nyampe UKS," lanjutnya.

"Gak usah, ke kelas aja," ketus Laras.

Cukup menyebalkan, Rafa hanya mengangguk, sekali. Tapi, tidak bisa dipungkiri, ia mulai penasaran dan mencoba untuk melirik ke belakang. Tidak. Ia sedikit menggelengkan kepala dan memejamkan mata, sesaat. Mustahil, mungkin.

***

"Di sini aja," ucap Laras meminta turun karena sudah dekat dengan posisi kelasnya.

"Di sini? Sekalian aja gue anterin ke dalem." Rafa berupaya memberi penawaran.

"Turun!" gertak Laras.

Karena tidak mau masalah semakin panjang, Rafa mengiyakan keinginan dari gadis berambut panjang dan sedikit berkepang itu. Dengan hati-hati, ia menurunkan gadis itu dari gendongan. Sekali lagi, menawarkan bantuan. Tapi yang ia dapat, hanya pengalihan pandangan. Sepertinya sudah tidak dibutuhkan lagi dan memilih untuk pergi.

"Makasih," ujar Laras dengan nada datar. Ia pun menyandarkan tubuh pada tembok di belakangnya. 

Mendengar itu, Rafa sempat berhenti dan mengukir senyuman di bibir. Lagi, ia mencoba untuk melirik gadis itu tanpa menoleh. Ya, meski hanya menangkap sedikit, sebatas sudut mata saja. Lalu, ia memulai lagi langkah kaki, pergi.

"Ah," keluh Laras sembari menghela napas, sekejap. Ia sedikit menyipitkan mata, sedetik dan mengoper pandangan pada pintu masuk kelas, tak jauh dari samping. Tertatih, ia berjalan masuk ke dalam ruangan yang nampak kosong. Tak peduli, ia langsung menuju bangkunya paling belakang, dengan pelan.

Merepotkan sekali, pikir Laras. Hari pertamanya berlalu cukup mengenaskan, baginya. Berlebihan, sepertinya. Apakah harus sesial itu, kah? Tak bisa menolak, sudah takdirnya, mungkin.

"Hmm," lirih Laras seraya merogoh sesuatu dari dalam saku rok. Ia menatap sayu ke atas, lelangit kelas. Dan kedua tangannya masih bergerak, memasang audio jack pada lubang ponsel. Ia juga menyematkan earphone ke telinga yang di atasnya berhias kepangan sebagian rambut.

Tidak lebih baik, rasanya. Laras menundukkan dan memiringkan kepala ke kanan. Ia memalingkan wajah ke arah jendela dan di baliknya terlukiskan laut biru yang tak tumpah. Entah kenapa, tiba-tiba otaknya memutar rekaman masa lalu. Ia pun melirik telapak tangan kanan. Ya, ia masih ingat dengan jelas jika hampir setiap hari tak pernah sehampa ini.

Lihat selengkapnya