***
"Ish!" Laras mengecak-ecak mendapati tali sepatunya terlepas. Ia pun berjongkok untuk membenarkan ikatan.
Deg! Laras terperanjat saat ia bangun dan mendapati seseorang sudah ada di hadapannya. Laki-laki bertubuh tinggi dengan raut wajah pucat, menurutnya. Ia tak mengerti mengapa laki-laki itu diam dan mengamati dirinya.
Membiarkan pertanyaan hati, Laras berusaha untuk tidak ambil pusing dan memilih menggeser tubuh. Tapi laki-laki itu juga ikut bergerak, menghalanginya. Ia mencoba untuk ke sisi lain, namun tetap sama. Dan terus, berulang beberapa kali. Hingga akhirnya, ia sudah mulai muak mendapati perlakuan itu.
"Eh?" Laras cukup terperangah ketika laki-laki itu menepuk-nepuk kepalanya dengan pelan. Ia makin tak mengerti karena laki-laki itu sama sekali tidak bersuara dengan mimik wajah yang sulit diartikan. Ia hanya membisu, memperhatikan kepergian laki-laki itu.
***
"Gue gak yakin," ujar salah satu gadis yang bercengkrama dengan kedua temannya di dalam kelas. Ia memakai kaca mata dan rambut bergaya pixie cut, seperti potongan rambut laki-laki. Lyd, itulah namanya.
Lyd memang tampak berpenampilan seperti gadis tomboi. Tapi, ia dikenal kutu buku oleh banyak orang karena sering membaca. Seperti kali ini, ia membawa buku yang sedang dibacanya. Walau begitu, ia masih bisa menyimak pembicaraan kedua temannya, Dinda dan Kiyorasih. Ia berdiri, menyandar pada tembok yang berjendela.
Dinda, seorang gadis yang berpenampilan rapi dan feminim dengan rambut yang diikat di atas bahu. Jepitan kecil juga menghias di samping poni yang miring. Suaranya begitu lembut dan jarang berteriak. Dia tipikal yang mudah bergaul dan murah senyum. Kini, ia duduk sembari meletakkan kedua tangan di atas meja.
Satu lagi, Kiyorasih atau biasa dipanggil Kiyo, cewek berseragam tanpa jas almamater dan dasi. Rambutnya yang sedikit keriting, diikatnya menyerupai ekor kuda dengan meninggalkan helaian tipis di dekat pipi, tak sama panjang. Ia setengah duduk di atas tepian meja. "Hmm?"
***
Laras masih dengan kesendirian, tak tahu harus melakukan apa. Berkeliling sekolah seakan membosankan untuknya, tak ada orang yang bisa diajak bicara. Ia pun memutuskan untuk kembali ke kelas di waktu istirahat yang tersisa. Namun, ia teringat akan sesuatu.
"Ah?" Buru-buru, Laras menjemput sesuatu dari saku rok. Dengan mengepal, ia pun menarik keluar dan mengangkatnya tepat di depan wajah. Perlahan, ia melepas satu per satu jari yang menekan telapak tangan dan menampakkan sebuah bola mungil menyerupai kristal. Ya, kelereng yang begitu berharga untuknya.
"Cuma ini," lirih Laras seraya merapatkan kembali jemari, menggenggam. Dan tak ingin berlarut lebih lama, ia harus kembali dengan tujuannya yang abu-abu. Tak jauh di depan, ia sudah dekat dengan kelas. Akan lebih baik rasanya, jika ia ke sana. Mungkin.
Tiba kaki memijak lantai kelas, Laras mengedarkan pandangan ke semua sudut ruang dan berhenti di tengah deretan bangku dekat ventilasi udara. Ada tiga gadis di sana yang ia lihat. Tapi ia memilih langsung untuk menuju ke bangkunya dan duduk. Ia hanya memangku wajah dengan satu tangan.
Menyadari ada orang lain selain diri dan kedua temannya, Dinda mengarahkan pandangan ke sisi belakang kelas. Anak baru, pikirnya. Ia menyungging senyuman. Ada hal yang mengganggu angannya. "Hei!" sapanya ke arah Laras yang terlihat melamun.
Mendengar suara yang sedikit keras, Laras melirik ke arah sumber suara. Apakah benar yang terhubung oleh telinganya? Ia merasa tidak yakin dan mengoper pandangan ke tempat lain, mengganggap angin lalu saja.