***
"Mau lo apa, sih?!" Nada keras yang hampir memenuhi satu baris lorong yang sunyi. Laras berusaha mematok kaki dengan kuat, tak bisa seperti ini terus. Berhasil. Ia dapat menghentikan pelarian tak jelas antara dirinya dan laki-laki yang tampak badung itu. Ia pun menatap tajam, tanpa berkedip.
Dengan bahasa tubuh yang tenang, Andra membalikkan diri sembari tersenyum tipis. Dari sudut kanan matanya menangkap gadis berkepang di atas telinga itu tengah meremas ujung rok. Sekejap, ia mengendurkan gerak manis bibir dan merenggangkan jari yang telah mengunci pergelangan tangan gadis itu. Mulai dari kelingking hingga jempol, ia melepas gandengan di tiap detik hingga tak tersisa.
Laras mengejapkan mata saat tangannya sudah tak terperangkap, sekali. Ia makin tak mengerti dengan tingkah laki-laki itu. Beberapa saat, waktu berubah hening. Ia berusaha untuk menerjemahkan pancaran yang tersirat dari mata laki-laki itu.
"Eh, eh, eh, eh?!" kejut Laras saat tangan pemuda itu mendarat dan mengacak-acak rambutnya. Belum sempat menepis, ia sudah tak merasakan pergerakan kuat di kepala. Cukup singkat, tapi lumayan membuat banyak helaian hitam yang amburadul termasuk kepangannya.
"Lo!" geram Laras membidik pandangan dengan sebal. Tidak lama, ia tertegun saat melihat laki-laki yang di depannya itu tertawa kecil selama dua detik. Apa yang salah dengan dirinya?
Bersamaan, Andra justru berlalu. Ya, benar. Lagi, tanpa mengatakan sepatah kata pun, ia membisu dalam langkah, membiarkan gadis yang telah ia 'jahili' itu seorang diri. Dengan angkuhnya, ia tak menoleh sama sekali. Betul-betul mengakhiri permainannya. Puas, rasanya.
Permen karet, pikir Laras. Itu saja yang ia ingat. Ia merasakan sekujur syaraf tegang karena terlalu menahan kekesalan. Ia butuh sesuatu yang dapat menenangkan ketegangan. Tepat sekali, cukup sepotong permen karet yang dapat memulihkan mood-nya.
***
"Tapi bukannya aneh kalo kabur kaya gitu?" tanya Laras, manggut-manggut. Ia duduk di bangku yang berada di tepian lapangan outdoor. Ia juga meluruskan kedua kaki ke depan, menyerupai perosotan.
"Iya, sih. Daripada gue diomelin?" Randi menyahut dengan gelak tipis. Ia cukup merasa malu mengenai perilaku dari cerita yang terpaksa ia bahas. Gara-gara kekasihnya, gadis yang duduk bersebelahan dengan Laras, Fania. "Yaah, mau gimana lagi?" Ia memasang wajah tak berdosa. Hal itu makin memicu dua wanita yang ada hadapannya itu tertawa. Namun, sekejap saja untuk Laras.
"Ah? Bentar." Fania tiba-tiba teringat sesuatu dan memasang muka serius. Hal itu membuat Laras dan Randi menghentikan aktivitas dan mengamati dirinya. "Syukurlah, kalian udah bisa akrab." Ia pun melebarkan senyuman sembari mengangkat dua jari, peace. Lega, sepertinya.
"Gak," lirih Laras hampir tak terdengar.
"Eh?" Maksud hati, Fania meminta Laras mengulang ucapan sebelumnya.
"Gak pa-pa kok, Fan." Laras sedikit menyungging senyuman, berlaku biasa.
Laras mengoper pandangan ke sisi kanan dan menangkap sekelompok pemuda yang memakai jersey warna biru yang dipadupadankan dengan putih, sedang memasuki halaman. Salah satu diantara mereka, sedang membawa bola berwarna yang cenderung coklat. Tim basket, kah? Batinnya, saja.
"Bukannya dia yang waktu itu..." Laras melirik ke sudut kiri mata dan sedikit memiringkan kepala ke kanan.
"Maksud lo Rafa?" Fania mencoba untuk menerka.
"Rafa?" tanya Laras menoleh ke arah Fania.