Hap!
"Nama," sebut Andra setelah membuat tangan gadis berambut kepang di atas telinga, yang ia perhatikan berada dalam genggaman. Benar-benar tak mengartikan apa-apa, raut wajah yang ia tunjukkan.
"Bukan urusan lo!" Laras berusaha untuk melepas cengkeraman yang ada di tangan. Sesekali, ia meringis. Terlalu kuat, tenaganya tak mampu melawan. "Lepasin!"
"Ah! Game over. Padahal dikit lagi menang." Gen menggaruk-garuk rambut yang tidak gatal, meratapi kekalahan saat bermain gim. "Ayok balik!" ajaknya sembari memasukkan ponsel ke dalam saku celana. Saat itu juga, ia mengoper pandangan ke sisi kiri dan mendapati pemandangan yang tak biasa.
Melihat gadis di depannya tetap bersikeras, ia pun memutar otak, mencari cara lain. Ia juga mengamati keadaan yang ada di sekitar. Tanpa memberi kendor, ia bergeser ke samping. Dengan satu tangan lainnya, ia menarik kuat kerah salah satu siswa yang berlalu lalang, memaksa berhenti. Ia menatap tajam ke arah siswa itu. "Nama." Dingin.
"Eh?" Laras makin tak mengerti dengan situasi yang sedang terjadi. Entah kenapa, masalah yang sangat tidak penting ini malah melebar ke mana-mana. Orang yang seharusnya tidak terlibat, terpaksa harus terlibat, pikirnya.
"Na-ma? Em..." Bergidik ngeri, pemuda itu saat tak bisa mengelak dari hal yang tak terduga. Ia melirik ke arah gadis yang ada di dekatnya, beberapa saat. "Nama..." Berpikir. "Nama gue Didit." Ketakutan. Tapi sepertinya ia salah menjawab. Ya, ia merasakan tarikan makin kencang di kerah kemeja dan jasnya.
"Stop!" teriak Laras. Tak bisa membiarkan terlalu lama. "Biarin dia pergi. Urusan lo sama gue, bukan sama dia." Syukurlah, suaranya didengar dan akhirnya Didit bisa melarikan diri. Semestinya.
Dengan berat hati, Laras berucap, "Laras," menyebut namanya. "Udah, kan?" Tak lama setelah itu, ia merasakan satu per satu jari-jari yang membuat pergelangan tangannya terperangkap, merenggang dan lepas sudah. Tanpa ba bi bu, sesegera mungkin ia beranjak. Tapi, lagi, pemuda itu mencegat jalurnya.
"Salam buat Dinda." Tak ada perubahan yang berarti dari ekspresi wajah Andra.
Tanpa meladeni, Laras tak ingin berlama-lama dan harus pergi sekarang. Tapi sepertinya, ia tak bisa lolos dengan mudah. Masih dengan cara yang sama, jalannya tertutupi. Baiklah. "Iya, kalo gue inget," ketusnya. "Masih ada lagi?" Kedua tangannya bergerak untuk mengencangkan ikatan lengan jas di pinggang.