"Marah?" Marwan justru bertanya balik lalu memutar tubuh, mengamati Laras. Benar, ia bisa melihat dari sikap Laras yang merajuk. Ia tak bisa meninggalkan Laras dengan kondisi saat ini. Karena itu, ia memutuskan untuk duduk di sebelah gadis itu.
"Apa terjadi sesuatu di antara kalian berdua?" Marwan menengok ke samping, sedikit.
"Berdua?" Laras tak mengerti. Namun Marwan memberi kode melalui mata. Ia berusaha untuk mengartikan. Seolah paham, ia sedikit membulatkan mata. Jangan-jangan...
"Eh!" pekik Laras buru-buru membungkam mulut Marwan dengan tangan. Bahkan ia tak sadar jika dirinya terlalu bertenaga hingga tak terkendali.
Marwan sendiri kesulitan berbicara dari balik bekapan Laras. Secara bersamaan, tubuh Laras menghantam dan membuatnya kehilangan keseimbangan. Ia tak bisa berpikir. Namun ada satu yang terlintas, cara apapun untuk melindungi Laras. Secepat mungkin, ia merengkuh dan menahan Laras.
Dug!
"Wan," panggil Laras melihat ekspresi Marwan yang meringis di bawahnya. Tidak. Ini salahnya. Ia langsung bangun, duduk di atas lantai setelah Marwan melepas dekapan. Seperti terbentur dengan keras, pikirnya. Bagaimana ini?
"Akh!" Marwan memegangi kepala, benar-benar sakit sekali. Ia juga memejamkan mata dengan kuat.
"Wan," panggil Laras, lagi. Sangat terlihat jelas dari raut wajah jika ia begitu khawatir. Ia tak menemukan apa-apa di dalam pikiran. Apa yang harus dilakukan? "Eh?" Tiba-tiba ia mendengar suara tawa kecil dari mulut Marwan.
"Dugaan gue salah ternyata," ucap Marwan membuka mata dan mengangkat tubuh. Ya, ia mengubah posisi menjadi duduk, sebentar. Kemudian bangun dengan tumpuan kedua kaki dan mengulurkan tangan pada Laras. "Buruan."
Sebenarnya, Laras belum paham dengan apa yang dimaksud Marwan. Ia memandang penuh tanya. Baiklah. Ia pun menjabat tangan Marwan, bersedia dibantu untuk berdiri. Hap! Berhasil.
"Andra kalo tau soal ini, dia pasti bakal bunuh gue," ucap Marwan memasukkan kedua tangan ke dalam kantong celana.
"Eh?"
Lagi, Marwan mengembuskan napas dengan nada tawa, dua detik. "Gak usah dipikirin." Seringai manis menghias bibirnya. Tapi itu tak bertahan lama, memudar saat sorot matanya menangkap Rafa yang berdiri di depan gudang.
***
"Ras."
Mendengar seseorang memanggil namanya, Laras menghentikan langkah dan memutar badan. "Oh, kalian." Tersenyum tipis. "Ada apa?"
"Gimana hukuman lo?" tanya Dinda, mendekat. "Butuh bantuan, gak?" Lagi. "Gimana kalo kita bantuin?" Ia ingin memastikan dan bersiap jika dibutuhkan.
"Kalian gak perlu khawatir, gue udah ada yang bantuin, kok. Bentar lagi juga mau selesai." Laras tersenyum simpul. "Makasih," lanjutnya. Dan entah mengapa, tiba-tiba bayangan Rafa muncul di benak saat ia melihat Kiyo. Apa ini?
"Kenapa, Ras?" tanya Kiyo merasa diperhatikan.
"Em." Laras menggeleng. "Gak kenapa-napa, kok." Ia menyungging senyuman, dua sekon. "Kalo gitu, gue pergi dulu." Ia mulai mengangkat tumit. "Bye," pamitnya lalu pergi tanpa menunggu jawaban.
"Syukur, deh, kalo gitu," ucap Dinda dengan lega. Ia masih memperhatikan Laras yang makin jauh dari tempatnya.