"Sekolah ngelarang semua murid naik ke sini," lanjut Marwan.
"Eh?"
"Sekitar empat tahun yang lalu, katanya ada kecelakaan yang ngelibatin siswa di sini. Ada juga rumor yang bilang kalo siswa itu bunuh diri, lompat ke bawah gara-gara depresi."
Seketika, Laras menjorokkan kepala, menengok ke bawah. Terlalu tinggi, pikirnya. Ia mulai berprasangka yang aneh-aneh. "Berarti angker dong?" Raut wajahnya terasa kaku. "Kalo dilarang, kenapa kita di sini?" Panik.
"A?" Dingin saja, Marwan. "Karena jadi murid biasa yang terlalu patuh itu gak seru. Yang penting, gak ketauan aja, kan?" Ia menghembuskan napas dengan nada tawa setelah melihat ekspresi Laras. "Karena yang gak biasa itu, justru lebih menarik," tambahnya.
"Terserah." Entah bagaimana jalan pikiran Marwan, Laras tak paham. "Eh?" Ia merasakan beberapa tetesan air yang jatuh di atas punggung tangan. "Bentar lagi jam istirahat mau selesai dan kayaknya bakal ujan, gue turun dulu." Ia berjalan mundur dan membalikkan tubuh, beranjak pergi.
Hap! Dengan cepat, Marwan menggaet tangan dan menarik Laras ke hadapannya. Tanpa meminta izin terlebih dahulu, ia menunduk dan menempelkan dahi di atas pundak kiri Laras. "Sebentar aja." Ia pun menutup mata dengan rapat, mengharapkan sesuatu.
"Wan," sebut Laras tak bersuara. Benar, ia sedikit terkejut. Tapi mungkin, ia bisa merasakan sesuatu. Ada yang aneh, rasanya.
Beberapa saat kemudian, rintikan air dari langit makin deras dan membasahi yang ada di bawahnya. Meski begitu, Laras masih membiarkan Marwan. Ia tahu jika tetap seperti itu seragamnya dengan Marwan akan basah kuyup, tak keberatan. Ia juga mendongakkan kepala, menyipitkan penglihatan, menatap lautan hitam yang menangis. Untung tidak ada petir, pikirnya.
"Maaf." Marwan menjauhkan wajah dari bahu Laras. Ia memandang gadis itu beberapa saat. Ia pun membuka telapak tangan ke atas dan membiarkan air hujan menggenang di kerutan kulit. "Lo jadi kehujanan."
"Em." Laras menggeleng. "Gue duluan," pamitnya menunjuk tanjakan menurun. "Bye."
"Lo yakin mau turun dan masuk kelas dengan kondisi seperti itu? Lo bawa ganti?"
"Eh?" Laras berbalik badan, teringat sesuatu. Benar juga.
"Cuma ada dua kemungkinan kalo lo turun. Pertama..." Marwan memalingkan wajah, memperhatikan Laras. "Kena omel." Ia memasukkan tangan kanan ke dalam saku celana. "Atau yang kedua..." Sebuah seringai muncul di sudut bibirnya. "Dihukum." Bahasa tubuh yang tenang.
"Eh?" Laras menutup mata sekejap, tak tahan air hujan. Jangan-jangan... "Lo tadi sengaja?" Tak bisa dipercaya. Ia menyipitkan pandangan sembari memeluk kedua lengan.
Marwan tersenyum puas. "Mungkin," singkatnya menggerakkan tubuh, menghadap pagar. Saat itulah, ia mengendurkan gerak manis bibir. Melamun. Ia melebarkan kelopak mata hingga terasa di dalam kegelapan.
"Dingin," lirih Laras, hampir tak terdengar. Ia menatap sebal ke sekeliling, termasuk Marwan. Sampai pandangannya menemukan bangunan kecil yang bisa melindungi dirinya dari hujan. Ia pun bergegas.
***
Marwan masih belum menggeser posisi, tetap sama. Ia tak peduli dengan dirinya sendiri. Ditambah lagi, tidak ada tanda-tanda yang menunjukkan hujan akan berhenti. Hingga ia memutuskan untuk berpaling. Tidak mungkin jika terus seperti ini, harus berteduh.
Tiba di ambang jalan masuk pos, Marwan menahan langkah saat mendapati Laras yang duduk selonjor dengan tubuh bersandar pada tembok, di bawah dengan mata terpejam. Sesaat, ia tersenyum tipis. Namun, ia juga sedikit merasa bersalah. Ia langsung mengambil dan menyelimutkan jas abu-abunya pada tubuh gadis yang bersamanya itu.