"Ras?"
Mendengar seorang laki-laki memanggil namanya, Laras langsung bereaksi dengan mengintip sosok itu dari celah-celah rambutnya. Dengan kepala yang masih menunduk, ia bergegas menghapus air mata yang telah mengalir di pipi hingga tak tersisa. Ya, tak mau membuat curiga. Ia harus memantapkan diri seolah tak terjadi apa-apa. Pasti bisa, yakin.
"Ah? Rafa, ada apa?" Laras menyingkapkan rambut ke belakang agar wajahnya terlihat ketika memandang Rafa. Ia berusaha mengukir senyuman alami. Tapi rasanya, mustahil. Hanya bisa apa adanya, mungkin. Kemudian, ia kembali menghadapkan diri di depan piano sembari menekan satu tuts dengan ujung jari.
Walau pandangan Laras tak mengarah padanya lagi, setidaknya Rafa sempat memandang wajah gadis itu. Ia bisa melihat jika kedua bola mata Laras yang memerah. Apa mungkin? Bertanya-tanya dalam hati. Bolehkah untuk diungkapkan? Tidak, tidak bisa. "Lo ngapain di sini?" Ia menemukan pertanyaan alternatif.
"Hm?" Laras asal memencet tuts dengan kelima jari yang dimulai dari jempol sampai kelingking. "Tiba-tiba, rasanya gue pengen belajar main piano." Tersenyum tipis. "Keren, gak, sih? Piano?" Ia pun menengok sesaat ke arah Rafa, sesaat.
"Keren, kok," sahut Rafa, seadanya.
"Apa perlu les piano ya?" Laras sedikit mendongakkan kepala, mengawasi lelangit.
"Les?" Entah mengapa, Rafa memaksa otaknya untuk berpikir saat ini. Apakah ada yang bisa dilakukan? Ada. Ya, akhirnya ia bisa menyimpulkan hasil pemikirannya. "Gue baru inget, di kelas gue ada anak eskul yang jago main piano. Kalo lo mau, gue bisa bantu ngomong ke dia buat ngajarin lo."
Laras langsung bangun dari posisi dan membalikkan tubuh agar bisa menatap Rafa dengan jelas. Ya, ia ingin memastikan sesuatu. "Beneran?" Berharap. Ada semburat tipis keceriaan yang mulai terlihat dari wajahnya. Semoga tak salah dengar, saja.
"O!" Rafa menggangguk dalam sedetik. Plong rasanya saat ia bisa memulihkan seringai manis di bibir Laras. Seperti keajaiban yang datang padanya. Walau pada dasarnya ia tak begitu yakin.
"Makasih ya?" pinta Laras, sumringah. Ia tak bisa menutupi rasa bahagia meski belum sepenuhnya. Di mana sempat terasa perih di mata, sekarang ia tak terlalu merasakannya lagi. Bantuan yang ia dapatkan dari Rafa seolah menjadi obat untuknya.
***
Jam pelajaran hari ini telah usai, Laras segera mengemasi beberapa alat tulis dan buku ke dalam tas. Harus cepat, pikirnya. Ya, tak boleh membuang waktu. Tanpa berpamitan atau menyapa teman lain, ia bergegas menuju ke luar kelas.
"Ras," panggil Dinda yang masih berada di bangkunya. Namun ia tak mendapat balasan apa-apa sampai Laras tak terlihat lagi olehnya. Apa yang terjadi? Mengapa Laras nampak terburu-buru? Meski memikirkannya, ia tak bisa menemukan jawaban.