"Eh?!" batin Laras. Ia syok bukan kepalang. Apa ini? Marwan tiba-tiba mencumbu bibirnya dengan lembut seakan membuat waktu berhenti. Tanpa disadari, ia juga menikmati gerak bibir Marwan di bibirnya yang mungil. Ya, seolah pasrah.
"Eh?" Suara hampir tak terdengar, Laras tak bisa merangkai kata-kata setelah Marwan menjauh dari wajahnya. Tapi ia masih bisa melihat Marwan dengan jelas, jarak pandang masih cukup dekat. Bahkan ia sempat memperhatikan Marwan yang merapatkan bibir untuk beberapa saat.
"Bruk!"
Mendengar sesuatu yang terjatuh, Marwan langsung menoleh dan memutar pandangan ke seluruh area. Namun ia tak menemukan sesuatu yang ganjil, bahkan terlihat sunyi tanpa orang. Ia juga mendongak ke atas, ke arah jembatan penghubung. Hasilnya nihil, namun ia merasa penasaran dan tertahan untuk sementara waktu.
"Wan," panggil Laras belum bereaksi lebih, bagai kepala terisi penuh oleh kabut. Ia mendapat pengalihan pandangan dari Marwan.
Mengerti cara pandang Laras padanya, Marwan sedikit menyungging senyum tipis, hampir tak terlihat jelas. "Gak terlalu buruk," sahutnya terlalu santai.
Mendengar itu, Laras langsung terkikuk malu sambil menyentuh bibir dengan ujung jari. Ia juga sedikit memalingkan wajah ke sisi kanan, tak mau Marwan tahu jika dirinya sedang tersipu. Apakah Marwan menyadari sesuatu tentang dirinya? Ah, rasanya mau berteriak. Mustahil.
Mengamati sikap Laras, Marwan hanya mengembuskan napas dengan nada tawa, sedetik. Ada kesalahpahaman di sini. "Krim," singkatnya, tiba-tiba. "Di sini," sembari menunjuk bibir dengan jari telunjuknya.
"Eh?" Laras langsung buru-buru meraba bibirnya. Belepotan, kah? Ia harus menghapusnya. Rasanya makin tak karuan saja. "Ah?" Ia teringat sesuatu kala bibirnya bertautan dengan bibir Marwan. Apa mungkin ...
Gelak suara tawa kecil sempat keluar dari mulut Marwan untuk dua detik. Begitu lucu dan manis, menurutnya. Ya, benar. Bahwa, sebelumnya bukanlah sekadar ciuman biasa. Ia tidak hanya mengincar bibir Laras, tapi juga krim yang menempel di sebagian kulit bibir gadis itu. Tak lama setelah itu, ia merebut sisa sandwich stroberi dari tangan kanan Laras yang tak berkutik.
Laras mulai bergerak, sedikit memiringkan tubuh, menghadap Marwan yang tengah menyantap kue lapis bekas gigitannya. Padahal, di dalam kotak bekal masih ada 3 potong sandwich yang masih utuh. Sulit dimengerti olehnya. Kenapa harus miliknya? "Apa memang kaya gini? Pacaran?"
Marwan tak merespon, hanya saja masih fokus mengunyah di satu suapan terakhir. Bahkan setelah itu, ia malah mengetuk-ngetuk lutut dengan beberapa jari. Ia nampak memikirkan sesuatu.
"Kesepakatan kita?" tanya Laras. Ia masih ingat pembicaraan di hari kemarin bersama Marwan di tepi kolam renang.
"Kita buat kesepakatan," jawab Marwan memperhatikan Laras dengan serius.
"Eh?" Tak begitu paham, Laras juga melakukan hal yang sama seperti Marwan, saat ini. Ya, saling memandang dan cukup memakan waktu.
"Lo milik gue. Itu berarti, mulai sekarang, lo cewek gue dan begitu juga sebaliknya. Jangan pernah liat cowok lain selain gue." Marwan berbicara dengan nada rendah.