Tapi belum sampai melangkahkan kaki, Dinda tertahan. Di waktu yang bersamaan, seorang pemuda menerobos kelas dan berlari, menuju ke arah Laras. Saat itu juga, Dinda tak bisa apa-apa selain mengawasi. Tapi entah mengapa, ia sulit menerimanya.
"Ras?"
Mendengar seseorang memanggil namanya, Laras yang perasaannya porak poranda, mendongakkan kepala dan melihat sosok di dekatnya. "Wan," sebutnya dengan berat. Dengan begini, ia mencoba memberanikan diri untuk melihat ke sekitar. Dan merasa jika semua pandangan tertuju padanya dan Marwan saat ini. Sinis, sekali. Menakutkan.
"Ras," panggil Marwan seraya menyentuh tangan Laras yang mengepal kuat. Namun dalam sekejap, Laras menepisnya. Tak bisa dipercaya? Ada apa dengan Laras? Itulah yang terpikir olehnya.
"Jangan dekat-dekat," ucap Laras dengan nada bergetar. Ia tak bisa memfokuskan pandangan. Ia bangun dari duduk lalu berjalan mundur ke belakang dengan pelan meski sempat terhalangi oleh kursi. Tubuhnya kesulitan untuk berdiri dengan posisi tegap, seakan goyah dan mengeluarkan banyak keringat.
"Tapi, Ras?" Marwan tetap bersikeras untuk mendekat sedikit demi sedikit meski Laras melarangnya. Entah mengapa, melihat kondisi gadisnya itu saat ini, perasaannya... Ia tak bisa menafsirkannya. Kacau.
"Aku mohon, jauhin aku," pinta Laras dengan suara yang masih sama seperti sebelumnya. Jantungnya berdebar dengan cepat. Sesak dan semakin sesak yang ia rasakan sejalan dengan pandangannya yang ikut mengabur, bergerak tak beraturan. Ia benar-benar kesulitan untuk bernapas. Sangat menyakitkan, baginya.
"Ini gue, Ras. Marwan." Marwan masih berusaha untuk meyakinkan Laras. Tapi ia malah mendapat gelengan kepala. Laras benar-benar membuatnya menderita di posisi ini, menurutnya. Ia tak tahu harus menghadapi kekasihnya itu dengan cara apa? Tak masalah jika dirinya harus terluka.
"Aku mohon, pergi!" Kali ini Laras berteriak, meringis. Dan tanpa disadari, ia menitikkan air mata. Gejolak tak beraturan masih menguasai tubuhnya. Ya, sangat menyiksa. Ia juga menjambak rambut dengan kedua tangan sebagai pengalihan rasa sakit yang entah dimana.
"Ras?"
"A!!!" jerit Laras makin tak bisa mengendalikan diri. Ia bagai orang gila sekarang. Rasanya, ia sudah tak sanggup lagi. Ya, hati, pikiran dan bahkan jiwanya. Ketakutan yang makin menjadi. "Gavin," lirihnya menyerah.
"Ras!" teriak Marwan sembari berlari menghampiri Laras yang makin melemah. Hap! Ia berhasil menangkap Laras ke dalam dekapannya sebelum benar-benar jatuh. Ia bisa melihat jika Laras sudah dalam kondisi mata terpejam. Ya, pingsan.
"Padahal ada gue, Ras. Lo bisa panggil nama gue." Meski sebentar, Marwan sempat memandangi wajah Laras yang memucat. Dan kemudian, ia membopong gadisnya dengan kedua tangan. Dan sekarang, ia baru sadar jika sedari tadi dirinya dan Laras menjadi tontontan satu kelas.