"Sshh!" desis Marwan sambil menempelkan jari telunjuk pada bibir Laras. Ia seolah menyiratkan sesuatu dari cara pandangnya. "Udah cukup minta maafnya?" Tertahan untuk beberapa saat. "Bakal kucium, kalo kamu minta maaf lagi." Dengan niat menakuti.
"Em," sahut Laras mengangguk pelan. Meski begitu, tetap saja, ia merasa tidak enak terhadap Marwan.
"Puk! Puk!" Marwan menepuk kepangan rambut yang di atas telinga Laras. "Anak pinter." Walau sebenarnya ia bisa melihat raut wajah gadisnya yang cemberut. Dan setelah itu, ia duduk bersandar dengan menekuk kedua lutut dan bisa merasakan lengannya bersentuhan dengan lengan Laras. Ya, kali ini nol jarak dengan kekasihnya itu.
"Tapi tetep aja, gak bisa ngubah fakta," ucap Laras memandang ke sisi kanan. "Cewek gak benerlah? Playgirl? Suka mainin cowok, bahkan gonta-ganti cowok." Menghela napas, dua detik. "Gak ada bagus-bagusnya jadi cewek. Mungkin benar yang dibilang mereka semua, kalo aku cewek terburuk yang pernah ada dan malah ngelibatin kamu."
"Salah," singkat Marwan belum bereaksi banyak.
"Eh?"
"Maaf, karena udah ngelibatin ke situasi yang bikin kamu tertekan," lanjut Marwan memalingkan wajah.
"Kenapa malah kamu yang minta maaf?" Laras tak mengerti.
"Aku udah ngekhianatin Andra."
"Eh?" Tiba-tiba.
"Padahal aku tahu, cewek yang disuka Andra. Tapi aku malah macarin cewek yang seharusnya gak boleh aku pacarin, apalagi waktu dia gak ada." Marwan memandang ke depan.
"Ha?" Syok, Laras makin tak mengerti dan membuat Marwan meliriknya.
"Andra pernah minta tolong sesuatu." Marwan berhenti sejenak. "Buat jagain kamu, apapun yang terjadi pas dia gak bisa nemenin kamu."
Laras masih berkutat dengan dirinya yang berputar di satu titik. Terlalu mendadak, rasanya.
"Inget? Waktu aku bilang bakal dibunuh Andra kalo kamu sampe kenapa-napa?"
Laras mengangguk.
"Itu karena saking pentingnya kamu buat dia." Marwan mengembuskan napas dengan nada tawa, sekali. "Kalo dia tahu hari ini, udah gak ada ampun lagi. Tamat, mungkin, aku." Ekspresinya makin berubah dingin.
"Tunggu, tunggu." Laras masih belum mendapat titik terang. "Andra? Aku?" Sambil menunjuk dirinya sendiri dan membayangkan tanda tanya yang berkumpul di atas kepala. "Sama sekali gak paham," ucapnya dengan mempertegas dua kata pertama. Ya, berharap Marwan menjelaskan lebih detail lagi. Tapi percuma karena Marwan menutup mata, seperti menghindar.
Mau bagaimana lagi, pikir Laras. Baginya, ia sudah terlalu terbiasa dengan watak Marwan. Dan tak kelewat absen, ia juga tak tahu apa yang sedang dipikirkan oleh pemuda di sampingnya. Tak ada cara lain selain menyerah, baginya.