"Ah? Kak Marwan?" Kiyo langsung membenarkan posisi duduk menjadi tegap saat sorot matanya menangkap Marwan berjalan dari arah belakang Dinda.
"Eh?" Dinda kehilangan fokus dan buru-buru memalingkan wajah. Seperti yang dibilang Kiyo, ia bisa melihat Marwan yang semakin dekat. Benar, dekat dan semakin dekat. Dapatkah ia memberanikan diri? Bahkan saat akan Marwan melewati bangkunya, ia masih ragu.
Tidak, pikir Dinda. Tak peduli bagaimana Marwan memandangnya, ia harus melakukan sesuatu. Jika hanya berpikir, tak akan pernah selesai. "Kak Marwan," panggilnya saat jarak Marwan kurang lebih dua meter dari arah depan tempatnya. Ia pun bangun dari duduk, berharap.
Seketika, Marwan menghentikan kaki setelah seorang gadis menyebut namanya. Ia kenal betul dengan suara gadis itu. Padahal ia berusaha untuk tak memperhatikan. Tanpa ba bi bu, ia melanjutkan langkah tanpa menoleh sedikit pun. Ya, mencoba untuk menahan diri. Meski ia tahu, jika dirinya akan terlihat seperti orang jahat. Tapi sayangnya, ia belum pulih dari perasaannya yang tengah campur aduk.
"Eh?" Kiyo tak percaya sambil menghentak meja, sekali. Tidak terlalu keras.
"Kak Marwan budeg, apa yak? Dipanggil juga." Kesal adalah hal yang tergambar jelas dari sikap Kiyo. "Bikin sebel aja," gerutunya menekan kata kedua. "Ah?" Tak habis pikir. "Laras apa kabar ya?" Ia masih merisaukan keadaan Laras walau dengan suasana hati yang berantakan.
Meski gagal, Dinda masih tetap mengawasi Marwan yang tampak memilih camilan dan minuman di kedai. Bahkan, ia belum menggerakkan tubuh, terpaku. Ia bagai telah melakukan keburukan, menurutnya hingga merasa bersalah. Padahal, ia tak menginginkan hal ini. Seperti inikah jika diabaikan oleh orang yang ia harap?
***
Tap! Tap!
Marwan menaiki satu per satu anak tangga dengan kecepatan standar. Terlihat di kedua tangannya tak lagi hampa. Ya, sebelah kanan membawa segelas soda melon dan sebelah kiri memegang sebotol kopi susu. Sesekali, ia menengok ke belakang untuk berjaga-jaga jika ada yang mengikuti atau melihatnya. Bisa gawat kalau mengingat peraturan sekolah, itu saja.
Tiba di ujung atas tangga atau lebih tepatnya di atas atap, Marwan menghentikan kaki untuk berjalan. Ya, mengamati aktivitas Laras. Dengan begitu, ia bisa melihat jika gadisnya melompat-lompat dengan tumpuan kedua tangan di atas pagar tembok. Bocah, pikirnya. Awalnya ia mengira jika gadisnya hanya bermain-main. Namun secara misterius, otaknya berpikir kemungkinan buruk.
"... gak bisa ngubah fakta ..."
Hap! Laras berhasil duduk di atas pagar tembok lalu menengok ke belakang. Curam, pikirnya. Ia pun bergegas mengangkat kaki untuk berpijak di tempat yang segaris dengan dudukannya. Mimik mukanya tak menjelaskan apa-apa. Perlahan, ia mencoba bangun. Ekstrim, mungkin. Ia tetap melakoninya. Entah apa yang dipikirkan olehnya.
Seperti tujuan awal, Laras dapat berdiri di atas pagar tembok yang memiliki lebar seukuran panjang rata-rata sepatu orang dewasa. Beberapa saat, ia memandang ke bawah gedung kemudian mengangkat kepala dengan memejamkan mata seraya merentangkan kedua tangan.
"Ras!!"