"Soal ..." Laras menempelkan badan bagian belakang pada tembok pagar pembatas lalu menyeretnya ke bawah menjadi duduk dengan kedua kaki setengah selonjor. Tangannya bergerak mengambil sesuatu dari saku kemeja. Ada hal yang ingin ia perlihatkan kepada Marwan.
"Ini?" Laras membiarkan benda mungil berbentuk bulat menapak di atas telapak tangan. Yakni, sebuah kelereng dengan hiasan galaksi kecil di dalamnya. "Maaf, tadi aku nemu di kantong jasmu."
Marwan menengok ke arah Laras, lagi. Ada sesuatu yang telah melewati benaknya. "Punyamu, kan?" Memastikan. "Sorry. Dari awal seharusnya aku balikin."
"Em." Laras menggeleng pelan. "Justru aku berterimakasih, selama ini udah kamu simpenin." Ia memungut guli dengan dua jari, jempol dan telunjuk, mengangkatnya. "Aku pikir udah ilang dan bakal gak bisa ketemu lagi sama kelereng ini." Tersenyum simpul.
Memperhatikan reaksi Laras, Marwan semakin terdorong atas rasa penasaran. "Mainan dari kecil?" Tak biasanya saja, pikirnya.
"Bisa dibilang gitu." Laras memposisikan kelereng segaris dengan mata sebelah kiri dan menyipitkan mata sebelah kanan. Ya, menikmati corak galaksi di dalam kelereng.
"A?" Respon datar dari Marwan, kembali. Walau sebenarnya, berkebalikan.
"Sebenernya, kelereng ini berarti banget buat aku." Laras tak bercerita banyak, melainkan bermain-main dengan kelereng. Ah, senangnya.
***
Duk! Duk! Duk!
Seorang pemuda berjersey biru putih sedang memental-mentalkan bola sembari mengawasi ring basket yang tak terlalu jauh dari posisi. Ia juga beberapa kali melakukan teknik dribel seolah tengah bertanding. Padahal ia hanya seorang diri di aula gedung. Lebih tepatnya di lapangan indoor yang dikelilingi tribun.
"Argh!" teriak pemuda itu saat tembakan bolanya membelok dari ring. Sangat frustasi, rasanya. Bukan perkara gagal memasukkan bola, melainkan isi hatinya yang terpuruk. Benar, kali ini ia ingin mengeluarkan segala beban yang ia tahan. Berusaha menghibur diri, jika memungkinkan. Tapi, ia terlalu payah untuk itu.
Bruk!
Pemuda itu setengah membanting badan di atas lantai. Ya, sengaja berbaring di tengah lapangan. Terlalu menyesakkan, baginya. Bolehkah untuk dirinya rehat sejenak? Berusaha melupakan. Tak dapat membuat pengalihan. Ia pun menutup mata, beberapa detik.
"Bodoh lo, Raf," ejek pemuda itu dengan nada kesal. Hal itu, ia lontarkan untuk dirinya sendiri. Mungkin, lebih tepatnya. Tidak salah lagi.