Senja yang berpendar di ufuk Barat begitu memesona. Setiap hari kecuali Jumat rutinitasku adalah ikut Juragan Noto mencari ikan di laut lepas. Di laut yang begitu luas, senja terlihat lebih megah. Aku tak melewatkan sedikit pun saat-saat Matahari kembali ke peraduannya. Semburat cahayanya yang begitu teduh menyihirku beberapa saat. Seolah-olah gadis pujaanku persis di depanku sekarang. Namanya Laila. Matanya adalah bagian yang paling menarik dari dirinya. Ketangguhan, pengorbanan, ketulusan semua terpancar dari matanya yang teduh seteduh senja yang hampir tiap hari aku kagumi.
Pertemuanku dengannya adalah salah satu anugerah terindah yang diberikan oleh Tuhan. Pertemuan dengan gadis tangguh dan apa adanya. Meski sering aku melihat matanya menyiratkan kemisteriusan. Dia tetaplah wanita pada umumnya. Wanita yang harus mencurahkan 20.000 katanya ke siapa saja.
Aku tersenyum geli saat mengingat jika dia sudah ada pada mode curhat.
"Kenapa ya aku diberi nama kampungan. Aku dan Rania selisih 1 tahun saja, Gam. Nam a Laila itu kuno. Mbah-Mbah zaman penjajahan juga pasti banyak yang bernama Laila."
"Laila itu nama yang indah. Kalau acuanmu trend. Seharusnya namamu sekarang yang unik. Karena zaman sekarang orang-orang berlomba-lomba memberikan nama anaknya yang susah-susah. Sudah jarang kan yang memberi nama ala orang zaman dulu. Dalam hal ini namamu langka Laila. Antik."
Aku melihat gurat senyum di sudut bibirnya. Meski tipis dan terkesan gengsi, matanya tak bisa berbohong. Dia merasa lega dengan penjelasanku. Dan akhirnya bangga akan namanya yang indah itu. Dia juga sering bercerita kalau dia sering diperlakukan berbeda dengan adiknya.
"Kamu memang selalu bersepeda ya, La?"
" Iya, Gam."
"Gak punya motor?"
"Punya. Motor keluarga. Tapi kenyataannya lebih sering dipakai Rania."
"Gak boleh dipinjam barang sebentar? dari desamu ke sini jauh loh."
"Adikku takut motornya kena cipratan air laut. Bisa cepat rusak."
"Adikmu kerja apa?"