SATU TAHUN kemudian.
Sebelas tahun jadi seorang budak korporat, cukup membuatku untuk belajar menikmati hal-hal sederhana yang ada di depan mata. Punya waktu 1x24 jam itu enggak cukup. Kalau perlu dalam 1 minggu jumlah hari kerja lebih dari 5 hari. Atau jangan-jangan 1 tahun ada 365 hari juga masih kurang. Ah, sudahlah. Memang begitu kenyataannya.
Selalu mengusahakan datang paling pagi ke kantor. Sekitar jam 6 lewat 15 menit, biasanya aku sudah berdiri cantik di depan lift. Sesampainya di ruangan, Pak Ipan-petugas cleaning servis gedung-sudah sibuk wara-wiri memburu debu sampai ke pojok-pojok kubikal. Setelah bertegur sapa, aku biasanya langsung duduk manis di depan meja kerjaku. Meja kerja khas perempuan yang enggak mungkin sepi. Persis di sebelah kiri komputer jadul berwarna hitam, terpajang foto keluarga kecilku. Ini nih yang selalu mengingatkan untuk jangan terlalu sering lembur. Hehe. Di sebelah foto, tentu saja ada perintilan make-up yang penting untuk sekedar touch-up dan parfum.
Di sisi sebelah kanan, ada tisu kering dan tisu basah. Gelas kopi kesayangan dengan warna baby pink yang ada tulisan kecil namaku di bawahnya, Lia. Lalu di dinding kubikal mejaku pasti selalu ada print-out to-do-list yang menjadi target kerjaku setahun ke depan, dan juga kalender. Begitulah pemandangan yang selalu menemaniku setiap hari. Dinding kubikal, layar komputer, pajangan foto, dan semuanya yang menjadi saksi bisu bagaimana keseharianku jatuh-bangun bertahan menjadi seorang wanita karier diantara banyak peranku yang lainnya di rumah. Mungkin kalau mereka bisa bicara, mereka juga akan ikut marah, menangis, atau bahkan berteriak.
"Mba, kata Pak Ogi nanti Mba Lia ikut meeting sama Bu Sandra after lunch ya?" sahut Damar, sambil memberikan berkas pekerjaan yang kemarin aku berikan padanya.
"Oke, Dam. Thanks ya." jawabku singkat.
"Aku perlu ikut enggak, Mba?"
"Hmm, enggak usah dulu deh. Gue juga belum tau ada agenda apa."
"Oke."