Mas Bima sudah tidak pulang sejak setahun yang lalu. Pekerjaannya sebagai kontraktor itu membuat kami harus sabar menanti hari berjumpa. Kedua anakku sudah tidur sejak dua jam lalu. Hana dan Aisyah. Dua anak kami yang mas Bima janjikan untuk bisa mengenyam pendidikan lebih baik dari aku dan dia yang tak bisa tamat kuliah. Mas Bima hanya kurang dua semester saja, tapi ketika kusuruh dia meneruskan kuliahnya, ia selalu bilang uang semesterannya untuk tabungan kedua anak kami agar masa depan pendidikan mereka jelas di kemudian hari.
Aku tak tahu lagi bagaimana menuntaskan rinduku kepadanya. Ia pria yang kunikahi lima tahun lalu. Ia adalah pria paling sabar yang aku kenal. Tak ada yang mampu menaklukan hatiku selain dia. Beberapa kali para lelaki tampan datang ke rumahku saat aku dulu masih gadis dan tak satupun dari mereka yang lolos masuk ke hatiku meski mereka selalu membawa bunga, makanan dan hal-hal manis lainnya.
Mas Bima berbeda dari mereka. Mas Bima tak membawa apa-apa saat ke rumahku. Ia datang dengan peci putih khasnya dan wajahnya yang malu-malu. Aku masih ingat dengan jelas bagaimana kegugupannya saat ayahku menghardiknya terang-terangan, menanyakan maksud kedatangannya ke rumah kami.
"Amila ingin belajar ngaji, Ayah," kataku kepada ayahku yang langsung melirik ke arahku dengan tajam dan dehemannya yang membuat nyaliku seketika sedikit menciut. Tapi untuk pertama kalinya aku tak begitu memikirkan kemarahan ayah, aku hanya ingin dia, Bima Saputra naik ke atas rumahku meski aku tak tahu apa maksud kedatangannya ke rumah ini.
Ia akhirnya menapaki anak tangga rumahku dan berdiri dengan berulang kali menundukkan wajahnya di sekitar kami, Aku, kak Mira dan Ayah.
"Benar kamu mau ngajar ngaji anakku?" tanya Ayah dengan nada suara bagai petir yang menggelegar, membuat tubuh Bima sedikit bergetar karena takut. Bima menatap wajah Ayahku setelah menoleh sejenak ke arahku dan kak Mira yang berada tak jauh darinya.
"Be-benar, Om," jawabnya ragu-ragu.