Perubahan bukan karena keinginan saja,
Ada kalanya kita berubah karena keadaan yang memaksa untuk berubah.
Jangan salahkan jika aku berubah,
Karena perubahanku adalah alasan mengapa aku masih bisa bertahan hidup sampai detik ini.
Aku menyukai hingar bingar hidup ini! Kamu tidak suka? Terserah itu hidupmu bukan hidupku. Di belahan dunia manapun aku tinggal, disitulah aku akan melakukan apapun demi kebahagiaan aku sendiri, takkan peduli lagi pada orang lain, apalagi percaya untuk kemudian dicampakkan. Tuhan tidak ada ketika aku susah. Kemana dia? Bahkan aku sudah tidak percaya kebaikan Tuhan lagi. Semua yang sudah kucapai tidak ada campur tangan Tuhan, semua ini atas keringat sendiri.
Bar ternama yang megah ini, perusahaan besar yang kubangun sendiri, saham tertanam dimana-mana apakah ini dari Tuhan? Tidak! Ini semua perjuangan aku sendiri. Aku telah memiliki semuanya, aku tidak butuh Tuhan. Bahkan aku tidak membutuhkan teman, hidup sendiri apakah tidak bosan? Tidak! aku sudah sedari kecil sendiri, berjuang sendiri! Lantas apalagi yang aku takutkan? aku telah memiliki semuanya, kekuasaan, kekayaan, kecantikan, apalagi? Semuanya sudah aku miliki.
Atheis? Itulah sebutan orang-orang padaku. Manusia tak beragama, tak punya kepercayaan, tak punya pendirian. Biarlah! Mereka tidak akan tahu proses panjang yang kujalani untuk mencapai pada titik ini. Aku bisa hidup karena belas kasihan orang katanya, bohong! Semua ada bayarannya. Dimana Tuhan saat itu? Aku meminta, tapi dia dimana?
Bagaimana mungkin ada orang tua yang tega membuang anaknya sendiri? Ya aku anak buangan hasil zina, itulah yang orang lain lontarkan. Aku kecewa mendapati kenyataan yang menampar itu, hidup di panti asuhan kumuh, selalu disiksa dan diperas tenaganya, hanya demi sebungkus nasi. Dimana Tuhan? Aku tidak percaya dia ada!
"Hahahahaahaha," tawa terdengar keras memenuhi seluruh isi ruangan, tidak ada yang berani berbicara sedikitpun.
"Sudahlah, hentikan mabukmu nona Zen!" teriak asisten sialan, dia selalu membuat aku kesal.
"Berisik! Pergi kau!" sarkas, tidak ada yang berani membantah. Sementara aku yang masih setengah sadar berdiri dengan terhuyung menyeret kaki mendekati gerombolan manusia yang sedang bersenang-senang dengan suara musik keras yang kencang.
"Nona! Sudah hentikan, kau harus pulang!" Asisten sialan itu lagi, aku menepis tangannya yang mencoba menarikku.
"Kurang apa aku ini? Kekayaan, kekuasaan, kecantikan, sudah ada pada diriku! Tapi kenapa jiwaku masih kosong seperti ini!" teriakku membahana, bercampur dengan suara musik di bar ternama milikku sendiri.
"Hai nona cantik!" Seorang pria mendekatiku dengan seringaian yang siap melahap. Namun aku diam tak bergeming sedikitpun.
"Apakah kau mau bersenang-senang denganku?" Tatapannya lapar, dasar pria brengsek.