"Aku suka merah, bukan Biru!" seruku sembari menatap tajam si Biru ini.
Biru tampak mengerutkan kedua alis tebalnya. Apakah pria itu sedang pamer? Memang kenapa jika aku tidak punya alis setebal itu? Apa karena Kak Raven juga punya alis yang tebal, sehingga aku tidak bisa disebut sebagai adiknya? Aku ini Araya Redha Ardhianto dan kakakku Ravendra Haris Ardhianto.
Kami ini sama!
****
Aku membuang napas. Ruangan terdominasi warna putih ini sungguh membuatku sesak. Untungnya sebuah jendela kaca yang berada dalam satu garis lurus dengan pintu masuk itu dibuka, menjadi satu-satunya tempat di mana udara dapat hilir mudik. Dari kursi empuk yang tengah kududuki ini, aku dapat melihat batang pohon melintang di dekat jendela. Aku tidak tahu pohon apa itu, tetapi ia memiliki kuncup bunga yang mampu menarik seekor kupu-kupu merah muda mendekat padanya.
Salah satu sudut bibirku terangkat ketika aku melihat kupu-kupu merah muda itu justru terjebak pada sarang laba-laba yang membentang di sana. Melihat bagaimana serangga itu mencoba melepaskan diri lebih terasa menarik daripada seorang wanita berkacamata yang duduk di hadapanku saat ini. Sudah lebih dari tiga puluh menit, tetapi dia tidak juga berhenti bertanya. Sangat membosankan. Belum lagi, seluruh topik pertanyaan itu membuatku sakit kepala memikirkan jawabannya—yang dia inginkan. Dia lebih muda dari Ibu, tetapi dia sangat cerewet dan aku benci itu.