🐾🐾🐾🐾🐾🐾🐾
Suara gesekan antara ujung pena dengan kertas makin lama terdengar makin bising dan cepat, kemudian berakhir dengan suara sobekan keras yang mengakhiri kegiatanku mencoret kertas. Aku bergeming menatap sebuah kertas penuh coretan berwarna hitam yang menutupi gambar seekor kupu-kupu kecil berwarna merah muda—yang untungnya tidak ikut tersobek. Membuang udara panas melalui mulut, aku langsung meremas kertas itu dengan kasar dan melemparnya ke sembarang. Orang-orang di sekeliling hanya abai, pun seorang pria tua berkacamata bulat dan bertubuh tambun di depan sana. Dia tetap asyik mengoceh mengenai konsep seni dengan cara yang sangat membosankan.
Bukankah seni sendiri adalah kebebasan?
Aku merutuk karena sinar matahari yang mulai tergelincir ke arah barat menyorot tepat di wajahku, melalui jendela kaca di sisi kiriku. Ia seperti membakar jiwaku yang makin panas oleh kekesalan tanpa ujung—kapan semua hal membosankan ini berakhir? Aku harus segera menemui Kak Raven dan membahas sesuatu yang menyenangkan bersamanya.
Nyaris mencapai batas akhir sabarku, akhirnya pria tua itu menutup kelasnya, dengan memberikan sebuah tugas untuk dikumpulkan minggu depan. Aku tersenyum begitu mendengarnya. Bagaimana tidak? Dia meminta sebuah karya seni dari kami yang mengacu pada penjelasan konsep tadi.
Aku segera merapikan meja, memasukkan semua buku dan alat tulis dengan cepat ke dalam tas ransel berwarna merah milikku. Kemudian, tanganku bergerak mengambil gawai berbalut case kulit berwarna merah dengan sebuah gantungan kupu-kupu merah muda. Aku memeriksa pesan masuk, tetapi masih belum ada pesan baru dari Kak Raven. Terakhir dia bilang akan datang menjemputku di depan kelas begitu usai. Setengah kesal, aku berjalan keluar dari ruang kelas. Pandanganku memeriksa ke sepanjang koridor, tetapi sayang, aku tidak menemukan tanda-tanda kehadirannya di mana pun. Tidak seperti biasanya Kak Raven tidak tepat waktu.
Aku menepi ke salah satu pilar besar yang berdiri kokoh di depan ruang kelas, memilih sisi dengan sedikit orang, untuk menunggu Kak Raven. Satu menit, dua menit ... aku membuang napas kasar, merasa gelisah oleh sesuatu. Dengan cepat, tanganku bergerak untuk memanggil nomor Kak Raven. Sialnya, operator seluler yang menyahut telepon itu-mengabarkan kalau nomor Kak Raven sedang tidak dapat dihubungi.
"Sial!" Aku langsung menendang kasar tempat sampah di sisiku sampai membuat beberapa orang menoleh. Aku hanya membalas tatapan mereka dengan sinis, hingga mereka sendiri yang memilih menyerah dan mengabaikan apa pun yang kulakukan.
Merasa percuma jika hanya diam menunggu, aku pun memutuskan untuk mengambil tindakan dengan menyambangi Kak Raven sendiri. Dengan langkah tergesa, aku meninggalkan tempat menuju ruang 10-31 di fakultas sastra—kelas terakhir Kak Raven untuk hari ini. Meskipun kesal, tetapi tidak mengapa, karena dengan begini aku jadi bisa meminta hadiah padanya sebagai penebusan dia tidak menepati janji. Aku tidak suka orang yang ingkar janji dan berbohong.
Dari fakultas seni, aku berjalan ke arah barat di mana fakultas sastra berada. Sepanjang jalan aku disuguhi lalu lalang manusia dengan kesibukan mereka masing-masing. Aku mempercepat langkah, menjejaki ubin yang menuntunku menuju tempat Kak Raven. Sekitar lima belas menit, aku pun sampai di depan sebuah gedung empat lantai bertuliskan Fakultas Sastra di bagian tengahnya. Bangunan berwarna abu-abu ini tampak lebih megah dibanding fakultas sastra yang hanya memiliki dua lantai dan memiliki warna khas merah bata.
Tanpa peduli bagaimana pandangan penghuni gedung ini, aku segera melangkah masuk, menaiki anak tangga di sisi kanan, menuju lantai dua di mana kelas 10-31 berada. Aku semakin mempercepat gerak saat melihat pintu hitam dengan papan angka tujuanku terlihat. Tanpa aba-aba, aku melangkah masuk. Namun saat melihat keadaan kelas yang sudah kosong, aku mengumpat keras dan langsung berlari pergi untuk kembali mencari keberadaan Kak Raven.
Di mana dia?!
Kesabaranku nyaris habis, hampir separuh bagian kampus aku telusuri, tetapi Kak Raven belum juga kutemukan. Di tengah kemarahan yang memuncak itulah mataku menangkap keberadaan sosok yang menjadi pemicunya tengah duduk santai bersama seseorang—entah siapa—di sisi lapangan basket. Tidak ada orang lain selain keduanya di sana, jadi apa yang tengah mereka lakukan? Dengan langkah lebar dan api jiwa yang sudah mencapai ubun-ubun, aku menghampiri Kak Raven yang sekarang tertawa renyah.
"Kak Rav!" teriakku marah, begitu sampai tepat di hadapannya. Napasku memburu, dadaku naik turun, dan kemarahanku sudah tidak lagi terbendung. Namun, Kak Raven justru mengulum senyum manis andalannya.