Juni 1999.
Malam selalu sama di perkampung kumuh sisi kota, gelap gulita dan sunyi. Hanya beberapa cahaya lampu minyak yang tampak bersinar dari dalam rumah-rumah warga, tidak ada listrik menyala. Dinding reyot yang ditambal di sana sini dan atap seng berkarat sudah lebih dari cukup untuk menandakan kehidupan yang sekarat. Jika banjir datang, rumah-rumah mewah akan tenggelam, namun rumah-rumah di sini akan terapung karena tak ada apapun di dalamnya yang bisa memberatkan, selain ratapan kemalangan dan harapan yang telah usang.
Cahaya dari gedung-gedung pencakar langit di kejauhan tampak berwarna-warni, menjulang tinggi, diam tak peduli. Namun itu tidaklah berarti apa-apa bagi warga di tempat ini, tidak mengisyaratkan kemegahan apapun bagi mereka. Seberapa tinggi pun gedung-gedung itu menjulang, di sini suara katak dan jangkrik pada malam hari tetaplah berkuasa atas segala suasana. Bangunan-bangunan itu, tak mampu memberi kesan lain sedikitpun.
Di dalam dinding reot itu, Sul membaringkan tubuhnya di atas tembikar yang menutupi lantai tanah, sambil memandangi lubang cukup besar yang menganga di langit-langit atap seng rumah gubuknya. Tidak ada yang dapat dilakukan setelah malam tiba selain meluruskan otot-ototnya yang lelah setelah bekerja keras seharian, memikul berkarung-karung tepung dan beras di gudang pasar yang membuat tubuhnya lengket oleh keringat. Tidak ada air di sore hari untuk membersihkan diri, nyamuk menyambarnya dari sana sini, namun beratnya mata selalu mampu mengalahkan itu semua.
“Bang! Dipanggil Ibu,” ujar Ira tiba-tiba keluar dari dalam kamar. Adiknya itu membawa piring bekas makan ibunya.
Sul membuka mata, menutupnya kembali, sedikit tidak rela. Membukanya lagi, berkedip dua kali, menarik nafas panjang dan berdiri dengan berat. Ia melangkah pendek masuk ke dalam kamar kecil yang gelap dan lembab. Lampu minyak kecil berasap hitam pekat menerangi separuh wajah ibunya, kerut dan layu, namun masih cukup tegar untuk membentuk senyum di bibirnya.
Ibu duduk bersandar di atas tempat tidur usang tanpa bantal dan kasur, hanya ada sarung berwarna biru pudar yang biasa mengganjal kepalanya saat berbaring. Sul mendekat, terdiam seperti biasa. Ia selalu tak mampu berkata apa-apa, karena merasa tak pernah bisa memberi sedikitpun kebahagian pada wanita di hadapannya.
“Belum tidur, Nak?”