Pagi telah kembali, matahari belum benar-benar meninggi, namun Sul sudah berjalan menyusuri pasar koja yang baru akan memulai aktifitasnya. Para pedagang mulai membuka gerai-gerai tokonya, lapak-lapak bertenda didirikan.
Sul memandangi itu semua dengan lekat. Ia punya cita-cita di dalam hati, suatu hari nanti bisa memiliki sebuah lapak di pasar ini. Tidak perlu besar, yang kecil dan sederhana pun sudah lebih dari cukup. Paling tidak dia tidak perlu lagi menjadi seorang buruh kasar. Ia punya teman ngobrol seorang pedagang di tempat ini, yang punya lapak cukup besar, dan sudah bersedia membantunya untuk menyewa sebuah lapak jika memiliki modal. Namun disitulah masalahnya, Sul tidak pernah tahu kapan ia bisa mengumpulkan modal dari pekerjaannya sebagai kuli panggul.
Halaman gudang penyimpanan tampak sudah ramai dengan barisan truk-truk pengangkut yang menunggu untuk diisi puluhan karung tepung.
Gudang penyimpanan ini milik PT. Sinar Abadi, berkapasitas tampung 1.200 ton karung tepung. Merupakan salah satu pusat distribusi tepung terigu di Jakarta Utara.
Setiap hari sekitar tiga puluh truk dengan kapasitas angkut 4 - 8 ton keluar masuk untuk mengangkut berkarung-karung tepung, yang kemudian disalurkan ke berbagai toko-toko grosir yang berada di kawasan Jabodetabek.
Di sinilah tenaga orang-orang seperti Sul dibutuhkan. Mereka bekerja memindahkan berkarung-karung tepung dari dalam gudang penyimpanan ke atas bak truk pengangkut menggunakan pundak mereka, memanggulnya satu-persatu.
Bayaran mereka ditentukan dari seberapa banyak truk pengangkut yang berhasil mereka isi penuh. Setiap truk diisi oleh dua orang kuli panggul, dan sejak awal Sul selalu bekerja bersama seorang pria yang juga berasal dari perkampungan kumuh, yang biasa ia panggil Mas Safri.
“Truk nomor lima dulu Sul!” teriak mandor gudang. Badannya gemuk dan gempal, memberi tahu truk mana yang harus mulai diisinya saat masuk ke dalam gudang.
“Mas Safri datang belum Bang?” tanya Sul sambil menyimpan sandal jepitnya di sisi gudang, mengganti bajunya dengan sebuah kaos usang yang telah penuh noda hingga warna aslinya tidak lagi jelas terlihat.
Sang mandor menggelengkan kepalanya tanpa menoleh dari buku catatan barang yang begitu serius ditatapnya, lalu menjawab sekenanya.
“Belum, mungkin telat. Kau kan tahu sendiri istrinya sedang hamil tua, butuh perhatian khusus yang seperti itu.”
Sul mengangguk paham. Ia lalu bergegas lari ke bagian belakangan gudang, berhenti di depan sebuah tumpukan besar karung-karung berisi tepung. Kemudian mulai mengangkat karung tepung seberat dua puluh lima kilogram ke atas pundaknya, tiga karung sekaligus diangkutnya. Seluruh ototnya seketika mengeras, bekerja extra untuk menahan beban yang begitu berat. Ia pun mulai melangkah cepat keluar dari dalam gudang, begitupun kuli-kuli lainnya yang hilir mudik silih berganti.
Langkah Sul cepat, pendek-pendek dan rapat. Ia berjalan melewati halaman luas berpasir, kemudian naik meniti papan kayu yang menanjak ke atas bak truk pengangkut, dan menurunkan karung tepung itu dari pundaknya di bagian sudut depan dari bak truk itu. Ini pekerjaan yang begitu berat, menguras habis tenaga, untuk bayaran yang tidak seberapa. Sul bekerja tidak menggunakan sendal karena langkah berat dan cepat akan membuat tali sendal jepit murahnya putus seketika.
*****
Dua jam berlalu. Sul mengangkat karung tepung yang ketiga puluh satu ke atas pundaknya. Sekujur tubuhnya telah dipenuhi bubuk putih, nafasnya menjadi berat, keringat membasahi seluruh tubuh. Ototnya semakin meregang keras, berusaha tetap menahan beban berat meski kelelahan fisik telah mendera. Lengan kanan dan kirinya memar memerah, karena gesekan karung tepung setiap kali menaikan dan menurunkan benda berat itu dari pundaknya.
Ia berjalan menyusuri halaman berpasir, nafasnya memburu satu-persatu. Rasa sakit mulai menjalar di telapak kakinya, langkahnya menjadi sedikit pincang, entah sudah berapa banyak kerikil tajam yang diseretnya. Betisnya terasa lemas, namun ia terus memaksa, terus memaksa, meski menyiksa. Inilah kenyataan pahit hidup yang harus ia telan mentah-mentah setiap hari.
Dengan sisa-sisa tenaga Sul menurukan karung tepung itu dari pundaknya ke atas bak truk pengangkut, kemudian berdiri diam sambil mengatur nafasnya yang berkejaran. Sudah setengah bagian truk terisi, namun Mas Safri belum juga datang. Dia butuh jeda sesaat jika akhirnya harus mengisi seluruh bagian truk ini sendirian.
“Yakin sanggup sendirian Suul?!” teriak Bahar sambil tersenyum dari atas truk nomor enam.
“Haruslah Bang! Lebih berat beban hutang dari pada karung-karung ini!”
“Ha ... haa ... menyindir kau! Tetap semangat Suull!!”
Sul mengangkat jempol tangan kanannya tinggi-tinggi.
Pandangannya lalu tertuju ke seberang jalan, menatap sebuah warung makan yang terbuka lebar. Para pembeli asik melahap makanan mereka di atas meja-meja makan. Menu tumis kentang, telur balado dan sayur sop ditemani secangkir teh hangat. Sul hanya bisa menelan ludahnya, tidak pernah ada sarapan yang mengisi setiap paginya, ia harus bertahan bersama rasa lapar yang menyakitkan.
Sebuah mobil sedan berwarna merah melintas di jalan raya. Sul memandang orang-orang di dalamnya, sebuah keluarga yang tampak tersenyum ceria bersama-sama.
Kadang Sul berusaha membayangkan bagaiamana nyamannya hidup orang-orang seperti itu? Bagaimana rasanya duduk tenang di dalam mobil yang melaju ke tempat-tempat yang menyenangkan?Tidak ada rasa lelah, tanpa rasa lapar. Hidup dalam kepastian, kecukupan, kebahagiaan.
Namun seberapa keras pun ia mencoba membayangkan, ia tetap tidak bisa merasakannya. Penderitaan telah begitu melekat pada dirinya, sehingga hanya duka yang begitu dekat dengan hatinya.
“Sul!! Masih kuat nggak?! Waktu, waktu nih, satu jam lagi truk-truk sudah harus berangkat!”
Sul menoleh terkejut, lamunannya buyar oleh suara lantang sang mandor yang memanggilnya dari halaman gudang.
“Siap Bang!! Masih banyak tenaga, lanjutt!” jawab Sul melompat dari atas bak truk, menyemangati dirinya sendiri. Ia segera berlari menuju gudang untuk melanjutkan pekerjaan beratnya. Hari ini akan terasa sangat panjang.
Sampai di dalam gudang langkah cepat Sul tiba-tiba terhenti oleh suara teriakan-teriakan keras dari ruang belakang. Seperti terjadi perkelahian antar kuli. Namun tiba-tiba sosok Mas Safri muncul sambil berlari pontang-panting dengan wajah ketakutan.
“Mas! Ada apa MASS?!!” tahan Sul dengan panik. Namun Mas Safri tak menggubrisnya. Pria berkulit legam itu terus belari hingga keluar gudang menuju halaman.
Tanpa pikir panjang Sul mengejar teman kulinya itu. Di belakang mereka empat orang pria berjaket kulit hitam muncul dengan masing-masing menggenggam pistol revolver di tangannya.