Menjelang sore, Sul sudah kembali ke perkampungan kumuh. Bagi orang lain tempat ini mungkin mengerikan, namun bagi mereka inilah tempat hidup sehari-hari. Semua sudah tampak normal jika bertahun-tahun tinggal di sini.
Sul langsung menemui istri Mas Safri di rumah gubuknya, yang berada dekat dengan bantaran kali. Meski dengan perasan segan Sul menceritakan semuanya, tanpa berusaha menutupi. Air mata dan isak tangis seketika menghias wajah wanita yang tengah hamil tua itu.
Sul tidak mampu memberi kata-kata penenang, ia hanya terdiam di dalam rumah itu hingga tangis Mbak Sri mulai mereda, hanya itu yang bisa ia lakukan. Ia tidak pernah tahu bagaimana caranya membuat perasaan seseorang lebih baik dengan kata-katanya. Jika perasaannya sendiri ingin lebih baik, ia biasanya pun terdiam. Menelan semua kesedihan, kemarahan, dan kekecewaan seorang diri. Menelannya mentah-mentah seperti sebuah pil pahit, dan bertahan untuk tidak menangis.
“Saya ingin sekali ke sana Mas Sul, saya ingin melihat keadaan Mas Safri,” ungkap Mbak Sri setelah beberapa saat tak bersuara. “Tapi jika memang itu pesan Mas Safri, saya akan menuruti saja. Terima kasih Mas Sul.”
Sul hanya mengangguk, tetap tidak mampu memberi kata-kata dukungan apapun, pikirannya seperti kosong. Di dalam hati ia hanya mampu mengungkap harap, agar ada jalan keluar bagi Mbak Sri untuk tetap melanjutkan hidupnya sehari-hari, meski tanpa tulang punggung keluarga untuk waktu yang belum mereka ketahui.
*****
Dengan langkah gontai Sul berjalan melintasi jalan tanah menuju rumah. Perkampungan kumuh mulai gelap gulita, matahari sudah tenggelam. Hanya berkas-berkas cahaya jingga yang masih sedikit tersisa di sisi barat langit.
Rumah-rumah gubuk tampak semakin suram dalam kegelapan malam, hanya sedikit cahaya penerang yang bisa terlihat. Ia berjalan sambil memandangi tiap-tiap rumah gubuk yang dilewatinya, kotor dan berantakan. Berbagai macam benda-benda bekas bertumpuk-tumpuk di depan rumah.
Pemandangan itu dengan cepat membuatnya tertekan oleh pertanyaan-pertanyaan yang selama ini selalu menghantui pikirannya. Mengapa ia dan warga perkampungan kumuh lainnya seakan tidak pernah bisa keluar dari lingkaran setan kemiskinan? Yang rata-rata merupakan warisan keluarga generasi sebelumnya.
Sul sendiri menerima garis kemiskinan dari kakeknya, yang seorang petani penggarap di sebuah desa terpencil di pedalaman Pamanukan Subang, Jawa Barat. Kakeknya hanya bisa menggarapkan sawah milik orang lain untuk mendapatkan bagian kecil dari gabah hasil panen. Ayah Sul yang tidak pernah mengecap bangku sekolah sekalipun, memiliki tekad untuk memperbaiki nasibnya, ia tidak ingin sekedar meneruskan profesi keluarga sebagai petani miskin.
Maka pria itu pun merantau ke Jakarta dengan modal tenaga dan semangat baja. Namun garis kemiskinan ternyata sudah seperti kutukan yang melekat dan tak ada mantera sakti yang sanggup melepaskannya. Tidak pula mantera orang-orang sukses yang sering didengung-dengungkan berbunyi “DISIPLIN DAN KERJA KERAS ADALAH KUNCI MENUJU KESUKSESAN!”
Kenyataannya Ayah Sul setiap hari bangun sebelum ayam-ayam berkokok, berjalan kaki sejauh lima kilometer dari perkampungan kumuh ke terminal angkutan umum Koja. Ia bekerja sebagai kenek angkutan metromini yang mewajibkannya untuk selalu datang tepat waktu demi mengejar setoran.
Ayah Sul bekerja sangat keras hingga larut malam tanpa kenal lelah dan kantuk, tak peduli lapar dan dahaga. Angin serta asap kenalpot yang mendera menjadi makanan sehari-harinya, menjadi racun yang mengendap di dalam tubuh. Perlahan tapi pasti racun itu menghancurkan sistem kekebalan tubuhnya, ia rapuh, sebelum akhirnya hanya mampu terkapar.
Setahun lebih Ayah Sul hanya bisa terbaring di dalam kamar karena penyakit Tubercolosis (TBC). Sekujur tubuh pria tua itu menjadi sangat kurus dan kering, seperti ranting pohon di musim kemarau. Bakteri mikobakterium tuberkulosa menggerogoti sistem kekebalan tubuh dan berat badannya.
Ia terbaring tanpa pengobatan. Hanya ada lap penuh noda dan ember kaleng bekas di dekat tempat tidur usangnya, sebagai tempatnya terbatuk-batuk keras hingga mengeluarkan dahak dan darah. Ayahnya meninggal dunia tidak lama setelah usia Sul beranjak 17 tahun, meninggalkannya sebagai tulang punggung keluarga di usai yang masih remaja.
Kadang Sul berpikir mungkin ketiadaan ijazahlah yang menyebabkan ia dan keluargannya sulit untuk lepas dari jerat ikatan setan kemiskinan. Banyak orang yang menuduh bahwa keluarga sepertinya tidak pernah peduli dengan pendidikan. Bahwa ia sejak kecil adalah anak yang pemalas, tidak suka berlama-lama mengasah otak di sekolah, lebih senang bermain keluyuran di pasar-pasar dan terminal angkutan untuk mencari uang agar bisa jajan semaunya.
Namun kenyataannya sejak kecil Sul sudah memendam impian untuk memiliki selembar ijazah pendidikan itu. Betapa ia benar-benar menikmati saat-saat belajar di bangku sekolah dasarnya dulu. Tempat itu bahkan masih dirindukannya sampai saat ini.
Ia tahu persis bagaimana kedua orang tuanya bekerja habis-habisan, hanya untuk mempertahankannya tetap berada di bangku sekolah. Namun ketika itu, hanya tersisa satu minggu sebelum ia menghadapi ujian akhir untuk meraih selembar ijazah SD yang diidam-idamkanya, seraya berharap bisa meneruskan sekolah ketingkat selanjutnya. Ibunya melahirkan anak ketiga dalam keluarganya, si bungsu Fariz lahir ketika Ira baru berusia dua tahun. Hal itu membuat ayah Sul menyerah dengan semua biaya kebutuhan sehari-hari yang semakin berat harus ditanggungnya.
Maka disuatu pagi yang biasanya dihiasi Ayah Sul dengan senyuman optimis, seketika berubah menjadi raut wajah getir yang mengiris pilu. Sul tidak perlu bertanya untuk mengerti apa arti senyuman getir itu, ia sudah paham bahwa Ayahnya tidak sanggup lagi membiayai sekolahnya, membayar uang ujian akhirnya.
Sul resmi berhenti bersekolah tiga hari sebelum ujian akhir dilaksanakan. Namanya dihapus dari daftar siswa yang akan mengikuti ujian kelulusan, dihapus dari data siswa penerima ijazah. Dihapus dari beribu banyak kesempatan yang bisa ia dapatkan, untuk memperbaiki hidup keluarganya di masa depan.