Aku Tak Pernah Bersedih

zaky irsyad
Chapter #4

Sahabat yang Kembali

Sul terbangun kaget, masalah yang menimpa kemarin benar-benar membuat tubuh serta pikirannya kelelahan hingga tidurnya pun begitu lelap tenggelam. Namun suara gelak tawa Fariz dan Ira di luar rumah membuatnya tersadar bahwa pagi telah kembali.

Ia bangkit perlahan dari atas lantai dengan sekujur tubuh yang terasa berat. Sedikit mengusap wajahnya yang kusut, kemudian berjalan keluar melewati pintu rumah. Seketika ia terkejut saat melihat kedua adiknya sedang bersenda gurau dengan dua orang sahabat lama yang dua tahun lebih tidak pernah ia jumpai.

“Selamat pagi tukang tidur!! Bangun siang membuat rezekimu dipatuk ayam-ayam kampung!” goda pria berkepala pelontos.

“JAFAARR!!” Sul berjalan cepat ke halaman dan menyalami erat sahabatnya itu.

Keduanya lalu saling melihat keadaan masing-masing.

“Pakaianmu sudah seperti juragan minyak sekarang,” lanjut Sul menatap kemeja, celana jeans, dan sepatu pantopel yang digunakan Jafar. 

“Dan kau masih tampak kumal seperti dulu ... Ha ha!”

 Keduanya tertawa lepas, ringan tanpa beban. Suasana tiba-tiba terasa sangat menyenangakan, sinar matahari pagi pun hangat menyambut. Sul seakan lupa dengan hal-hal pahit yang harus dihadapinya sepanjang hari kemarin.

Sul mengalihkan pandangannya ke sebalah kanan, pada seorang pria berwajah tenang namun memiliki sorot mata yang tajam. Rambutnya pendek cepak seperti seorang polisi, dengan uban putih yang sudah menghiasi bagian sisi kiri dan kanan kepalanya.

“Kau semakin tua Sam? Lihat uban di kepalamu!”

“Ha ... haa! Ini tanda kebijaksanaan Sul, lambang kedewasaan. Bagaimana kabarmu?”

“Aku baik ....” Jawab Sul singkat, tak bisa berkata banyak.

“Keluargamu?”

Sul menghela nafas panjang, kemudian menggeleng lemah.

“Ibuku sudah tiga minggu ini sakit, dia hanya bisa berbaring di dalam kamar sepanjang hari.”

“Ira dan Fariz tidak bersekolah?” tanya Jafar sedikit menoleh ka arah teras rumah, menatap kedua adik Sul yang sedang asik melihat oleh-oleh darinya dan Sam, berupa sepasang kaos berwarna biru untuk Fariz, dan putih untuk Ira.

“Upahku tidak mencukupi Far. Ira berhenti sekolah sejak satu tahun yang lalu, begitu pun Fariz.”

Sam dan Jafar terdiam, raut kesedihan yang begitu dalam di wajah Sul membuat keduanya tidak tega melanjutkan pertanyaan. Mereka tahu betul betapa menyakitkannya perasaan itu.

Samri Julakmar berusia 31 tahun, Jafar Sidik akan menginjak 27 tahun. Keduanya telah menjadi sahabat Sul sejak bekerja sebagai buruh di pabrik textile pengolahan kain dua tahun yang lalu. Namun krisis ekonomi yang meruntuhkan perusahaan tempat mereka bekerja mengubah segalanya.

Keadaan Jakarta saat itu sangatlah kacau. Ambruknya ekonomi memancing pergolakan-pergolakan masa yang menuntut Presiden segera mundur. Harga Bahan Bakar Minyak (BBM) yang melonjak tajam hingga 71% membuat kerusuhan semakin meluas, Jakarta tidak terkendali, bentrokan di mana-mana.

Lihat selengkapnya