Suara jangkrik malam sudah kembali, kampung kumuh telah sunyi, diselimuti gelap gulita. Namun malam ini tidak lagi sama, Sul, Ira, Fariz, dan Ibu duduk melantai di dalam gubuk reot itu, kini tidak ada lampu minyak berasap hitam pekat yang membuat hidung gatal-gatal jika menghirupnya, lampu petromak bercahaya putih terang telah membuat ruangan sempit itu memiliki warna.
Kini Sul bisa melihat betapa dinding dan tiang-tiang penyangga rumahnya telah lapuk dimakan usia, karena tidak pernah ada usaha apapun untuk merawat gubuk tua ini semenjak ayahnya meninggal dunia. Sul memang belum bisa memperbaiki dinding-dinding dan tiang itu sekarang, uang yang diberikan Sam masih terbatas, ia lebih mendahulukan pengobatan Ibu, lalu mendaftaran Ira dan Fariz kembali ke bangku sekolah, semua sudah direncanakannya. Baru ketika pekerjaannya nanti selesai, akan ada uang tambahan untuk menambal gubuk di sana-sini, atau mungkin mereka bisa mengontrak tempat baru, keluar dari perkampungan kumuh ini untuk pertama kalinya.
Piring-piring terisi penuh, ada rendang, gulai kepala ikan kakap, perkedel dan sayur santan nangka. Mata Fariz sudah sedari tadi memelototi empat buah perkedel kentang di atas piring, baginya itu makanan paling lezat di muka bumi, Sul bisa membaca pikiran adiknya itu.
“Buat Fariz perkedelnya boleh ambil dua, Abang nggak suka..” Ungkap Sul tersenyum.
Sekujur tubuh Fariz menegang, wajahnya tercengan bukan kepalang, senyumnya lalu terbuka lebar.
“Si..si..siaaap Baaang!” Jawabnya terbata-bata dan langsung menyergap dua buah perkedel dari atas piring putih.
“Haa.hha..ha..” Ibu, Sul, dan Ira tertawa bersama, tingkah bocah kecil itu sungguh polos dan lugu, masakan padang ini seperti keajaiban yang membuatnya takjub luar biasa, seakan melihat hujan yang turun setelah puluhan tahun kemarau mengurung.
Keluarga kecil itu pun makan bersama, suara piring berdentang-dentang oleh sendok yang hilir mudik di antara menu-menu istimewa yang dibeli Sul siang tadi setelah mengatar Ibu ke dokter.
Cahaya putih lampu petromaks membuat Sul dapat menangkap jelas raut wajah Ibu dan kedua adiknya, senyum bahagia memenuhi wajah mereka, meski saat melahap makanan, mereka lakukan sambil tersenyum dan tertawa.
Entah sudah berapa lama Sul tidak melihat kebahagaiaan itu, jika waktu bisa dihentikannya maka ia ingin waktu berhenti di sini saja, karena melihat semua senyum tawa kebahagian itu, adalah hal terindah yang pernah ia rasakan dalam hatinya, ia tidak ingin esok datang dan keadaan kembali seperti semula, sudah cukup ia melihat penderitaan Ibu dan kedua adiknya selama ini, sudah cukup.
“Bang..Bang...” Suara Fariz terdengar mendengung, kedua pipinya membesar, makanan masih memenuhi mulutnya namun ingin berbicara. “Orang-orang kaya makannya setiap hari yang beginian Bang? Enak banget ini Bang..”