Pukul 09.00 pagi, di ruang parkir basamenet gedung Bank Indonesia, dua mobil sedan baleno hitam berjejer di depan pintu masuk gedung. Di dalam empat petugas bank Indonesia memindahkan tumpukan-tumpukan uang sebesar lima ratus juta rupiah dalam tiga pecahan uang terbesar, seratus ribu, lima puluh ribu, dan dua puluh ribu rupiah.
Semuanya dimasukan ke dalam tas ransel berukuran besar berwarna biru, Kapten Adam dan anggota tim Bareskrim lainnya memantau ketat semua proses itu. Tiga anggota Bareskrim bersenjata lengkap akan mengawal uang tebusan yang diinginkan para penculik itu hingga ke markas pusat, untuk diamankan sambil menunggu telepon dari para pelaku penculikan yang akan memberitahukan di mana uang tebusan itu harus diantar.
Tas ransel besar itu lalu di bawa keluar menggunakan troli besi, dimasukan ke dalam sedan baleno milik kepolisian. Para pengawal bersenjata lengkap ikut masuk ke dalam mobil, kendaraan itu pun kemudian melaju cepat mengambil jalur exit gedung menuju ke jalan Raya.
“Itu jumlah gaji kita selama dua puluh tahun..” Ungkap Kapten Syarif berdiri memandang dua sedan baleno itu pergi meninggalkan basement.
Kapten Syarif adalah rekan Kapten Adam dalam kasus penculikan ini. Usianya 38 tahun, ia dan Kapten Adam kemudian berjalan menyusuri basement, keluar menuju halaman gedung Bank Indonesia.
“Itu pun jika tidak dipotong pajak dan cicilan rumah.” Jawab Kapten Adam dingin, langkahnya cepat dan tegap.
“Lalu seberapa banyak enam ratus triliun itu?”
“Sepertinya cukup untuk menahan efek krisis yang lebih dalam. Uang sebanyak itu seharusnya digunakan untuk menyehatkan kembali bank-bank swasta yang mengalami kesulitan keuangan, agar roda perekonomian dapat kembali berjalan. Perusahaan-perusahaan membutuhkan modal agar produksi mereka tetap bergerak, bank menjadi satu-satunya harapan. Namun ketika dana enam ratus triliun itu diselewengkan, maka tidak ada modal yang bisa menjadi sandaran, satu persatu perusahan pun ambruk, PHK menjadi langkah yang tidak bisa dihindari, jutaan orang jatuh dalam kemiskinan. Ini bukan soal enam ratus triliun, tapi soal kehidupan generasi kita di masa depan, harga yang terlalu mahal untuk kita bayar akibat keserakahan segolongan orang.”
Di luar matahari ternyata sudah meninggi, cahayanya cukup menyilaukan mata, Gedung Bank Indonesia berada di Jalan MH Thamrin yang padat setiap hari, kawasan ini terdiri dari pertokoaan, apartement dan gedung perkantoran. Kapten Adam dan Kapten Syarif mendekati sebuah mobil sedan corolla berwarna hitam yang terparkir di halaman pintu masuk utama gedung Bank Indonesia.
“Aku memiliki seorang kawan lama, dosen ekonomi, gelarnya doktor..” Ungkap Kapten Syarif teringat. “Semalam kami berbincang serius karena kasus ini benar-benar memancing rasa penasaranku soal Bantuan Keuangan itu. Dana enam ratus triliun yang diselewengkan itu ternyata merupakan pinjaman dana dari luar negeri bebentuk utang, dan inilah yang membuatnya menjadi lebih mengerikan. Bukannya digunakan, dana itu malah raup oleh pemilik-pemilik bank, ekonomi semakin terpuruk dan kini pemerintah memiliki utang baru sebesar enam ratus triliun rupah! Siapa yang harus membayar ini semua, kita bukan?”
Kapten Adam membuka pintu sebelah kanan mobil sedan yang dibelinya tiga tahun lalu, masuk ke dalam, duduk di depan stir, Kapten Syarif masuk dan duduk di sampingnya, keduanya menutup pintu. Kapten Adam dengan cepat membawa mobil itu melaju keluar dari gerbang utama gedung Bank Indonesia.