Sul membuka kedua matanya, sudah hampir satu setengah jam ia tidur terlentang di atas lantai rumah gubuknya, suara batuk-batuk dari kamar Ibu membuatnya terbangun. Jam dinding yang baru dibelinya menunjukan pukul sebelas malam, tidak seperti biasanya ia mendengar Ibu terbatuk-batuk sekeras itu, karena setelah mendapatkan obat dari dokter kondisi Ibu sebenarnya sudah lebih membaik.
Sul bangkit dan berdiri, berjalan pelan karena tidak ingin membuat kedua adiknya terbangun yang juga tidur melantai di ruang tengah. Sebelum masuk melewati pintu kamar, Sul mengintip sejenak, Ibunya tampak duduk di atas ranjang usangnya, masih terbatuk-batuk.
Sul masuk ke dalam kamar, mendekati meja kecil yang terbuat dari papan kayu di samping ranjang Ibu, mengambil gelas berisi air yang sudah biasa disediakan Ira agar Ibu tidak perlu keluar kamar jika membutuhkan minum.
“Kenapa Bu?” Tanya Sul sambil memberikan segelas air.
Ibu menerima gelas itu dan meminum air putih di dalamnya, perlahan wajahnya menunjukan sinar yang lebih baik.
“Sepertinya karena kue yang warna hitam tadi Sul..” Ibu menjawab sambil tersenyum. “Ibu masih sulit menyebut namanya, sudah lama Ibu tidak makan kue semanis itu, sampai jadi batuk begini..”
“Kue tart Bu, namanya kue tart..” Sul sendiri lupa apakah keluarganya pernah merasakan kue yang dipenuhi lapisan coklat dan krim putih yang manis itu selama hidup di perkampungan kumuh.
“Aku sengaja membelinya untuk Fariz..” Ungkap Sul menjelaskan mengapa ia tiba-tiba membeli kue yang sering ada di acara-acara ulang tahun orang-orang berada itu.
“Sepertinya Fariz mulai banyak permintaan..”
“Tidak Bu, Fariz tidak memintanya, itu utangku setahun yang lalu. Waktu itu aku mengajak Fariz ke pasar Koja untuk membelikannya sepasang sendal jepit. Sepulangnya dari sana kami melewati toko kue yang ada di sebrang jalan raya, Fariz tiba-tiba berhenti saat melihat kue tart yang ada di dalam toko, mungkin itu pertama kali Fariz melihatnya, dan tiba-tiba langsung merengek minta dibelikan kue tart itu. Tapi uangku sudah benar-benar habis untuk membelikannya sendal jepit. Aku berusaha menjelaskannya, tapi Fariz malah semakin merengek, bahkan memaksaku menjual kembali sandal jepitnya agar uangnya bisa dipakai untuk membeli kue tart itu.”
“Ha..hha..” Ibu tiba-tiba tertawa lepas, menggeleng tidak percaya, biasanya Ibu hanya tersenyum jika mendengar cerita-cerita lucu, namun kali ini tawanya tak tertahankan. “Fariz benar-benar berkata seperti itu?”