Pukul lima sore.
Kapten Adam sudah kembali ke Markas Bareskrim, ia duduk di atas kursi sova ruang kerjanya yang berada di lantai dua, dengan raut wajah kekesalan yang belum berubah, karena mereka kehilangan tersangka di kompleks pertokoan Gandaria Utara.
Bersama Kapten Syarif, ia duduk tepat di sisi kaca jendela berwarna hitam namun tembus pandang. Keduanya memandang tiga sketsa wajah tersangka yang sudah selesai, gambar ini merupakan visualisasi yang terekam oleh anggota tim ring dua dan tiga yang sempat melihat langsung ketiga tersangka ketika berada di dalam mobil. Perkiraan postur tubuh ketiganya pun telah rampung dikalkulasikan, dan hasilnya cukup mengejukan, karena tidak sesuai dengan data yang sudah dikumpulkan sebelumnya lewat gambar kamera CCTV yang merekam para tersangka pada malam penculikan tercjadi.
“Ini seperti dua kelompok yang berbeda..” Ungkap Kapten Adam, tatapan matanya bergerak dari satu sketsa ke seketsa lainnya, membandingkan dengan gambar foto yang diperoleh dari kamera CCTV mini market tempat penculikan terjadi.
“Menurutku pun begitu..” Ujar Kapten Syarif membenarkan. “Data yang dikumpulkan dari kamera CCTV, rata-rata tinggi badan pelaku penculikan seratus tujuh puluh lima sentimeter, dengan berat badan tujuh puluh dua kilogram. Namun para tersagka yang muncul di kompleks pertokoan tadi memiliki rata-rata tinggi badan 68 centimeter, dan berat badan 61 kilogram. Ini memang dua kelompok yang berbeda.”
Kapten Adam memegang keningnya, pikirannya mencoba mengolah data-data itu dengan sangat serius.
“Jika ini memang dua kelompok yang berbeda, maka bagiku mereka sudah pasti bukan kriminal biasa, jumlah mereka mungkin lebih banyak dari yang kita kira.”
“Mohon izin Kapten.” Seorang perwira menghadap memberi hormat.
“Silahkan.”
“Ada panggilan telepon dari ruang pusat informasi, katanya sangat penting.”
Tanpa banyak tanya Kapten Adam langsung bangkit dari duduknya, berjalan cepat ke arah kanan ruangan, menyusuri lorong panjang yang berakhir pada dua buah pintu kaca tebal, ia membuka pintu itu dan masuk ke dalam ruangan, lalu menerima ganggang telepon yang disodorkan seorang petugas padanya.
“Halo..” Ungkap Kapten Adam bersuara.
“Kapten Adam?” Tanya seorang pria paruh baya terdengar di ujung telepon.
“Ya, dengan siapa saya bicara?”
“Kasus yang Anda hadapi, lebih besar dari yang bisa Anda bayangkan, kita harus bertemu.“
“Siapa Anda?”
“Akan Anda ketahui saat kita bertemu.“
*****
Lima belas menit yang lalu mereka sudah sampai di tempat ini, sebuah bangunan yang telah lama terbengkalai, gedung lima lantai yang tidak selesai, masih berbentuk rangka-rangka beton dan dinding-dinding kasar. Di sekelilingnya penuh dengan semak belukar dan rumput ilalang setinggi pinggang orang dewasa, tempat ini terlihat sangat gelap dari luar, hanya ada lampu penerang secukupnya di beberapa sisi area gedung, selebihnya gelap gulita.
Dulu gedung ini dibangun untuk menjadi kompleks sekolah olahraga milik pemerintah yang cukup besar, namun pembangunannya terhenti setelah ditemukan bukti tindakan korupsi oleh beberapa orang pejabat proyek. Kini bangunan yang sudah menghabiskan dana besar itu hanya menjadi tempat hidup jangkrik dan serangga-serangga malam lainnya.
“Apa kau yakin Alex akan datang?” Tanya Jafar pada Sam yang mengeluarkan telepon genggamnya untuk melihat jam.
Bersama Sul, mereka bertiga duduk di depan api unggun yang dibuat Jafar dari sampah pelastik dan kayu-kayu bekas bangunan, cukup hangat untuk membuat pakaian mereka kering kembali, setelah basah kuyup sejak sore tadi.
“Masih lima menit lagi, kita tunggu saja, aku tidak mau berburuk sangka, kita sudah mengenalnya cukup lama, dia bukan tipe orang yang mudah berkhianat.”
“Bukankah Alex baru memberi informasi penjebakan ketika kita sudah sampai di lokasi?” Suara Jafar sedikit meninggi. “Bagaimana kita bisa tetap mepercayainya?”
“Lalu kita harus percaya siapa?” Sam menatap dengan serius. “Hanya Alex yang tahu betul persoalan ini, kita harus menemukan solusi, tidak mungkin terus-menerus bersembunyi seperti ini.”
Sul terdiam segan, ia bisa merasakan ketagangan pada dua sahabatnya itu, meskipun dialah sebenarnya orang yang paling kebingunan dengan situasi ini, namun kebingungan itu justru membuatnya terdiam kaku, ia tidak tahu harus berkata apa.
Sul perlahan berdiri, berjalan sedikit menjauh dari dua sahabatnya itu, melangkah ke tepi batas ruangan luas di sekelilingnya, sekedar melepaskan diri dari ketegangan.
Ia memandang ke arah luar bangunan, menatap rumput ilalang yang tertiup angin sedang, bergesekan perlahan, di bawah sinar cahaya rembulan yang bersinar redup, masih tertutup awan mendung, tanda hujan belum mau benar-benar berhenti sepanjang malam ini.
Di dalam hati, Sul merasa iri pada tumbuh-tumbuhan, yang bisa hidup dengan tenang, tanpa rasa takut akan kelaparan, kegagalan, dan keputus asahan hidup, begitu pun burung-burung yang bebas berterbangan tanpa beban. Sementara ia lahir di dunia hanya untuk merasakan penderitaan dan kepahitan, untuk menjalani masalah demi masalah yang datang bergantian.
Sungguh ini tidak adil, mengapa ia ada di muka bumi ini, jika akhirnya hanya mendekap di dalam bui, setelah bertahun-tahun hidup dalam kemiskinan, keperihan dan rasa malu, betapa hidupnya tidak berguna, lalu untuk apa ia hidup?
“Itu Alex!” Suara Sam tiba-tiba membuat Sul terkejut, mereka bertiga segera merapat.
Sedan Toyota Starlet berwarna putih itu tampak menyusur jalan berumput di antara rumput ilalang tinggi, melaju perlahan hingga masuk ke dalam gedung terbengkalai itu, berhenti tepat di hadapan Sam, Sul dan Jafar.
Suara mesin mobil itu lalu berhenti, sorot lampu depannya padam, pintu sebelah kanan terbuka dari dalam, seorang pria berkepala plontos dengan badan kurus tinggi keluar dari dalam mobil itu.
“Kalian baik-baik saja?” Tanya Alex dengan suara yang cukup berat.
“Ya, setidaknya kami masih hidup, apa yang sebenarnya terjadi?” Tanya Sam tanpa basa-basi.
Alex melangkah mendekat, menghela nafas dalam-dalam.
“Ini akan sedikit panjang, tapi aku mohon kalian bersedia mendengarkan penjelasanku dengan tenang hingga selesai, aku bersumpah tidak akan menutupi apapun.”
Sam dapat melihat kesungguhan dalam sorot mata Ayah dari dua anak itu.
“Dua tahun yang lalu, saat krisis ekonomi menghantam sektor perbankan, pemerintah memutuskan untuk membantu bank-bank yang masih sehat agar tidak sampai mengalami kebangkrutan. Bantuanya berupa dana pinjaman yang harus dikembalikan dalam jangka waktu empat tahun. Total dana yang dikucurkan sebesar enam ratus triliun rupiah. Namun setelah tiga tahun lebih berlalu, muncul indikasi bahwa dana itu disalahgunakan oleh para pemilik bank.”
“Maksudmu diselewengkan demi kepentingan pribadi?”
“Tepat sekali, digunakan untuk kepentingan-kepentingan pribadi. Saat ini pihak Kejaksaan mulai menyeledikinya, dan sekitar lima hari yang lalu, seorang direktur Bank Indonesia diculik oleh sekelompok orang saat keluar dari sebuah minimarket. Ia diculik agar tidak bisa memberikan kesaksiannya di pengadilan nanti, tentang siapa saja yang berada dibalik penyelewengan dana bantuan pemerintah sebesar enam ratus triliun itu.”
Jafar menggelengkan kepalanya tidak percaya.
“Enam ratus triliun?? Itu gila!! Lalu siapa dibalik penculikan direktur BI itu?”