Aku Tak Pernah Bersedih

zaky irsyad
Chapter #12

Hidup yang Sebenarnya

 

 

Mobil melambat ke sisi kiri jalan Raya Perintis Kemerdekaan, sudah hampir pukul delapan malam. Jafar menghentikan sedan putih itu di pinggir trotoar, Sam menoleh ke belakang menatap Sul.

“Jika sudah selesai, jangan kemana-mana, tunggu kami di sini, kami akan kembali untuk menjemputmu.”

Sul menjawab dengan anggukan cepat, lalu membuka pintu sisi kiri mobil, keluar dari dalamnya dan menutup kembali pintu dari luar. Sedan putih itu pun melaju pergi dengan cepat. Sul berjalan di atas trotoar sambil memegang map hijau yang diberikan Alex, Sam menyuruhnya untuk menggandakan kertas dalam map itu, sebagai antisipasi jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, setidaknya mereka masih memiliki salinannya. Sementara Sam dan Jafar menuju ke sebuah minimarket yang memiliki mesin ATM untuk melakukan penarikan uang tunai, mereka sangat membutuhkannya selama perjalanan keluar dari Ibu Kota.

Sul masuk ke sebuah ruko berukuran sedang di sisi trotoar jalan, ada lemari kaca di dalam ruko yang memajang peralatan tulis menulis dan perkantoran, seorang pria berbaju kemeja biru dan peci putih di atas kepalanya berdiri di balik lemari kaca, menunggu pelanggan seperti biasa, dagu pria itu ditutupi janggut, meski wajahnya tidak tampak terlalu tua, usianya mungkin empat puluhan. Sul datang mendekat dan menyerahkan lembaran kertas dari dalam map yang dibawanya.

“Perbanyak sepuluh kali..” Pinta Sul yang disambut senyuman oleh pria itu, ia lalu duduk di atas kursi plastik berwarna merah yang tersedia, menatap layar sebuah televisi lima belas inch yang ada di atas sudut kanan lemari kaca. Sebuah tayangan berita sedang mengulas tentang terungkapnya kasus korupsi yang merugikan negara sebesar dua milyar rupiah, dalam gambar tampak seorang tersangka di ruang persidangan yang sedang duduk di hadapan para hakim, menjawab pertanyaan demi pertanyaan yang diajukan kepadanya secara bertubi-tubi.

“Secerdik apapun suatu kejahatan disembunyikan, Allah pasti akan mengungkapnya..” Pria penjaga fotocopy tiba-tiba saja memberi komentar mengenai berita yang sedang ditayangankan pada televisi itu.

Sul menoleh, manatap pria berpeci putih itu yang lagi-lagi tersenyum padanya, tangan pria itu bergerak lincah di antara mesin fotocopy berwarna putih. Sul tidak sependapat dengan apa yang diucapkannya.

“Kejahatan yang sebenarnya jauh lebih berkuasa, mereka tidak tersentuh hukum, bahkan mereka sanggup untuk membeli dan mengatur hukum itu sendiri..” Sul menjawab dengan wajah serius, tidak ada keinginan sedikitpun untuk tersenyum.

“Allah Maha Adil saudaraku, semua akan memperoleh balasannya, setiap kejahatan akan merasakan akibatnya.” Penjaga fotocopy itu tetap bersuara ramah, ia mengambil lembaran-lembaran kertas hasil fotocopy lalu berjalan mendekati lemari kaca, menaruhnya di hadapan Sul. “Allah tidak akan pernah merugikan seorangpun, janji-Nya pasti benar.” 

“Apakah adil memberikan kenikmatan hidup kepada mereka yang jahat? Hidup dalam kemewahan dan kekuasaan. Sementara yang miskin harus menderita kelaparan, tidak berdaya sama sekali. Dimana letak keadilannya?”

Sul benar-benar mengutarakan beban yang menghimpit dadanya, pikirannya telah kalut, meski pria paruh baya di hadapannya bukanlah orang yang ia kenal.

“Hidup ini bukanlah tentang kemewahan dan kekuasaan, tentu tidak, hidup ini tentang beribadah kepada-Nya, untuk itulah kita diciptakan bukan?” Pria itu mengambil satu botol air mineral kemasan dari lemari pendingin, kemudian menaruhnya di hadapan Sul. “Untukmu, gratis.”

Sul tak ragu menerimanya, membuka tutup botol air mineral itu dan meneguknya, entah sudah berapa jam ia tidak merasakan setetes air pun sejak polisi mengejar mereka.

Pria itu melanjutkan penjelasannya.

Lihat selengkapnya