Aku Tak Pernah Bersedih

zaky irsyad
Chapter #13

Sebuah Pilihan

 

Cahaya warna-warni memantul dari gambar-gambar bergerak pada layar kaca televisi, sangat terang dan jelas, namun Sul menatapnya dengan pandangan yang kabur, sebab kedua matanya telah berkaca-kaca, merah menyala.

Siaran berita di hadapannya itu sejak lima menit yang lalu memperlihatkan gambar-gambar silih berganti, sebuah jalanan yang terang benderang oleh nyala api yang membakar seluruh bagian mobil sedan biru, para anggota polisi sibuk berlalu-lalang memasang garis polisi, petugas-petugas medis memindahkan tubuh dua orang pria ke dalam mobil ambulance. Semuanya hanya memberikan satu pesan untuknya, Sam dan Jafar tidak akan pernah kembali.

Sul bangkit dari duduknya, map yang berisi data pribadi pemilik bank yang merupakan otak penculikan Dr. Wira digenggamnya erat-erat, ia berbalik badan dan melangkah keluar dari dalam ruko.

“Anda akan ke mana?” Pria berpeci putih itu bertanya.

Sul berhenti melangkah dan menoleh sejenak. Ia menjawab dengan suara lirih, namun sorot matanya begitu tajam.

“Seluruh hidupku sudah kuhabiskan untuk berbuat kesalahan, aku hanya ingin melakukakan hal yang benar meski sekali saja. Aku berhutang banyak atas penjelasanmu.”

“Allah memberi petunjuk kepada siapa pun yang dikehendaki-Nya.”

Sul mengangguk, lalu kembali berbalik meneruskan langkahnya hingga ke sisi jalan raya, menghentikan sebuah sedan taxi yang melintas dan bergegas masuk ke dalamnya, duduk di kursi penumpang belakang lalu menutup pintu dari dalam, ia membuka map hijau yang diberikan Sam, melihat sekilas data pemilik bank yang merencanakan semua penjebakan mereka, lalu mengatakan tujuannya kepada supir taxi di depan.

“Ke kawasan Central Bisnis Sudirman, gedung Pasific Tower.” Sang supir mengangguk paham, taxi kuning itu pun melaju perlahan.

*****

Kapten Adam bergegas membuka pintu dengan tangan kirinya, berjalan keluar dari dalam ruang interogasi, tangan kanannya digipsum dan dibalut dengan perban putih, tulangnya mengalami retak ketika sedan corollanya menabrak truk kontainer, sementara Profesor Razak yang bersamanya di dalam mobil menderita cidera bahu yang cukup parah, butuh beberapa minggu untuk pemulihan, dia dirawat intensif di ICU Rumah Sakit Polri.

Ada dua orang tersangka yang berhasil tertangkap dari penjebakan itu, mereka sedang diinterogasi oleh tiga orang penyidik senior dengan penjagaan ketat, informasi dari keduanya sudah memberikan titik terang.

Kapten Adam keluar dari lorong panjang dan muncul di ruang kerja utama Kantor Pusat Bareskrim, para petugas berlalu-lalang, kesibukan semakin terlihat di antara meja-meja kerja. Kapten Adam mendekati kerumunan petugas yang menatap televisi dua puluh satu inch di atas meja TV, berdiri menatap layar kaca tepat di samping Kapten Syarif yang sudah lebih dulu keluar dari ruang interogasi untuk melihat langsung berita tewasnya dua tersangka penculikan saat dalam pengejaran di sepanjang Jalan Raya Perintis Kemerdekaan.

“Tim lapangan sudah mencocokkan dengan sketsa gambar yang kita buat setelah penyergapan di Gandaria Utara. Itu memang mereka.” Ungkap Kapten Syarif menoleh pada Kapten Adam di samping kirinya.

 “Kurang satu orang..”

 “Ya... sudah kuperintahkan tim penyidik di sana untuk menelusuri jejak perjalanan mereka dari bukti dan saksi-saksi yang ada, tapi masih butuh waktu untuk memperoleh hasil yang meyakinkan.”

Kapten Adam terdiam menatap gambar televisi yang menayangkan proses evakuasi mayat kedua tersangka yang dimasukan ke dalam kantong jenazah berwarna kuning. Tidak ada informasi yang bisa didapatkan dari dua tubuh yang telah terbujur kaku.

“Aku sudah berhasil membuka file dalam disc yang diberikan Profesor, kau harus melihatnya di ruang kerja.” Ungkap Kapten Syarif teringat.

Keduanya langsung berjalan ke area kanan ruangan luas itu, masuk ke dalam lorong pendek, di sebelah kiri Kapten Syarif membuka pintu ruang kerja Penyidik. Mereka bergegas mendekati sebuah meja komputer dengan layar monitor yang menyala. Kapten Adam langsung duduk di depan monitor, menggerakan scroll mouse di atas meja.

“Ada beberapa file di dalamnya..” Jelas Kapten Syarif berdiri menatap layar monitor di samping Kapten Adam. “Salah satunya adalah daftar nama-nama pemilik bank tersangka penyelewengan dana BKBI yang belum dipublikasikan, lengkap dengan bukti-bukti penyelewengan melalui jejak transfer antar rekening yang tidak wajar.”

Kapten Adam menggerakan scroll mouse ke bawah, ada lebih dari dua puluh nama pemilik bank yang tertera dalam daftar tersangka penyelewengan dana BKBI. Bukti-bukti yang menyertainya berupa kode-kode transaksi yang membingungkan bagi orang awam. Kapten Adam mengerutkan keningnya, berusaha berpikir keras, namun kemudian mendorong tubuhnya bersandar pada sandaran kursi, menjauh dari layar monitor. Tiba-tiba kepalanya terasa seperti tersengat, pusing yang hebat.

“Sepertinya kau sudah terlalu lelah Dam, istirahatlah, biar aku dan kawan-kawan yang menyelesaikan ini semua..” Kapten Syarif paham betul rekannya itu sudah memaksakan fisiknya melewati batas.

Kapten Adam terdiam menatap langit-langit ruangan sambil mengatur nafasanya, berusaha tenang, saat kecelakaan bagian kepalanya terbentur stir mobil, jika pusing terus berlanjut, maka ia harus segera dirawat, untuk mencegah cidera syaraf otak yang lebih parah.

Perlahan-lahan Kapten Adam meluruskan pandangannya kembali, berusaha menjaga konsentrasinya.

“Profesor Razak, memberikan informasi kepadaku selama berada di dalam mobil..” Ungkapnya bersuara lirih. “Kasus ini...... lebih besar dari yang bisa kita bayangkan, melibatkan kekuatan asing yang mampu mengontrol dan menekan pemerintahan, jika pun kasus penculikan ini terungkap, tidak akan menyelesaikan masalah yang sebenarnya. Kita sudah hidup terlalu naif, menyangka kita telah benar-benar merdeka hanya karena penjajah tidak lagi menodongkan senjata. Kita lalu terlena dalam kehidupan masing-masing, belomba mengejar hal-hal yang fana dari dunia ini. Kita lupa bahwa merdeka hanyalah pintu awal untuk mewujudkan cita-cita perjuangan Bangsa, untuk mendirikan sebuah negara tanpa kasta, tanpa ada jurang antara yang miskin dan kaya, sebuah negara yang berlandaskan azas kekeluargaan, yang tidak akan berhenti berjuang dengan darah dan pengorbanan saat melihat orang-orang disekelilingnya menderita. Bung Karno benar, Perjuangannya lebih mudah karena mengusir penjajah, tapi perjuangan kita akan lebih sulit, karena harus melawan Bangsa sendiri.”

*****

Gedung-gedung pencakar langit sudah tampak menjulang di kawasan Central Bisnis Sudirman. Pasific Tower merupakan salah satu gedung perkantoran tinggi bertingkat dua puluh lantai yang selesai dibangun pada tahun 1993, menjadi kantor bagi perusahaan-perusahaan lokal maupun internasional yang bergerak dalam bidang asuransi, penerbangan, firma hukum, dan perbankan. Lokasinya berdekatan dengan gedung pencakar langit setinggi 250 meter gedung Wisma 46, yang selesai dibangun tahun 1996, memiliki empat puluh enam lantai dan merupakan gedung tertinggi di Indonesia. 

Mobil taxi berhenti di depan pintu masuk utama gedung Pasific Tower, Sul membayar argonya, hujan semakin deras mengguyur. Ia keluar dari dalam taxi sambil merapihkan jaket yang menutupi pistol baretta di belakang pingganya, lalu berjalan masuk ke dalam lobi gedung dengan tenang, karena tidak ingin terlihat mencurigakan, ruangan luas itu masih tampak ramai orang berlalu-lalang. Ia berjalan ke salah sudut ruangan lobi, masuk ke dalam lift yang kosong, menekan tombol lantai lima belas, pintu tertutup dan lift pun mulai bergerak naik ke atas. Dari data yang tertera di dalam map hijau, Sul tahu pemilik bank tersebut berkantor di lantai 15, di ruang kantor PT. Bank Daya Dana Tbk, bernama Riswan Asadi, berusia 46 tahun.

Lift berhenti, pintu terbuka lebar. Sul berjalan cepat menyusuri lorong, membuka dua pintu kaca besar, masuk ke dalam ruang kantor milik PT. Bank Daya Dana Tbk, jejeran meja kerja memenuhi ruangan utamanya, beberapa pegawai masih serius dengan pekerjaan mereka, namun beberapa meja lainnya sudah tampak kosong, itu membuat Sul dengan mudah lepas dari perhatian. Ia terus melangkah menuju ruang direktur utama di pojok kanan, membuka pintunya dengan tangan kiri sambil tangan kanannya mencabut pistol baretta yang terselip di belakang pinggang.

“Siapa Anda!?” Riswan Asadi duduk di belakang meja kerjanya yang mewah, beradu tatapan dengan Sul. “Siapa yang menyuruh Anda masuk?”

Sul tidak menjawab ia mengacungkan pistol barettanya ke arah pria itu, ada plat nama jelas di atas meja yang menunjukan orang yang duduk di belakang meja besar itu adalah orang yang ia cari.

“Silangkan kedua tangan ke belakang!”

Riswan Asadi hanya terdiam dengan tatapan tajam. Dengan cepat Sul menembakan pistolnya ke dinding menunjukan keseriusannya, tembok terpecah saat dihantam peluru panas. Dengan perasaan takut Riswan Asadi segera menurut, ia menyilangkan kedua tangannya ke belakang. Sul membuka dasi pria paruh baya itu, menggunakannya untuk mengikat kedua tangan Riswan Asadi ke belakang.

“Jalan! Dan tetaplah diam!” Sul memegang erat kerah baju belakang pria itu sambil menodongkan mulut pistol ke belakang kepalanya.

Keduanya berjalan keluar dari pintu ruangan, para pegawai di ruang kerja telah berdiri dari duduk mereka sejak mendengar suara letusan senjata, mereka menatap sang atasan dengan cemas. Sul mendorong Riswan Asadi berjalan di tengah-tengah ruangan, kemudian membuka pintu kaca besar, mereka keluar, berbelok ke kanan, menyusuri lorong dan masuk ke dalam lift, Sul menekan tombol lantai dua puluh. Pintu lift tertutup dan ruang sempit itu pun bergerak naik ke lantai tertinggi gedung Pacific Tower itu.

Keduanya hanya berdiri dalam diam, angka demi angka berganti berderet ke kanan di atas pintu lift, sampai akhirnya pintu terbuka kembali, mereka tiba di sebuah ruangan kosong yang tidak begitu terang, ada sebuah pintu besi di ujung ruangan itu, yang merupakan pintu akses menuju keluar atap gedung. Sul membawa Riswan Asadi mendekati pintu itu, lalu mendorong pintu besi hingga terbuka lebar, suara deras hujan yang turun seketika membisingkan telinga.

Sul mendorong sang pemilik bank melangkah keluar ke atap gedung yang berada diketinggian 94,5 meter dari permukaan tanah, angin begitu keras bertiup seperti menampar-nampar wajah mereka, guyuran hujan langsung membuat keduanya basah kuyup, puncak gedung-gedung tinggi lainnya yang memenuhi kawasan bisnis center sudirman berada di sekeliling mereka. Di sebelah barat gedung Wisma 46 setinggi 250 meter tampak menjulang angkuh sendiri diantara gedung-gedung lainnya, puncak gedungnya yang seperti pena seakan menusuk langit yang gelap. Di arah selatan lampu-lampu kecil menghiasi atap melingkar dari stadion Gelora Bung Karno. Jalan Raya Jenderal Sudirman yang membentang sepanjang empat kilometer tampak kecil dengan cahaya-cahaya lampu kendaraan yang berlalu-lalang.

*****

Lihat selengkapnya