Embun pagi menetes dari atap-atap seng rumah gubuk di perkampungan kumuh, bercampur dengan sisa tetes hujan deras semalam. Beberapa warga tampak sibuk menyapu rembesan air hujan keluar dari dalam rumah gubuk mereka. Bocah-bocah kecil berlarian bermain di antara genangan-genangan air yang muncul di sepanjang jalan tanah, suara tawa mereka bersahutan dengan suara burung-burung pagi. Sinar matahari di timur sudah tampak meski masih malu-malu, memberi kehangatan bagi semua orang untuk kembali memulai aktivitasnya.
Kapten Syarif menghentikan mobil unit patroli yang dikendaraianya di depan sebuah rumah gubuk berdinding papan. Kapten Adam yang duduk di sampingnya menatap rumah gubuk itu sesaat, lalu membuka pintu keluar dari dalam mobil, ia menggunakan seragam lengkap Kepolisian, melangkah di atas tanah yang becek. Seorang anak perempuan dan laki-laki terlihat sedang duduk di atas kursi bambu panjang di depan rumah itu. Yang perempuan menggunakan seragam sekolah putih biru, sementara yang laki-laki menggunakan seragam lengkap pramuka. Keduanya tampak sedang menunggu seseorang dengan senyuman bahagia menghias wajah mereka.
Kapten Adam berjalan mendekat menyapa dan menanyakan keberadaan ibu mereka. Sang gadis kesil mengangguk lalu bergegas masuk ke dalam rumah, tidak lama seorang wanita tua muncul dengan senyuman, mempersilahkan Kapten Adam masuk ke dalam rumah. Keduanya duduk berhadapan di atas kursi rotan. Kapten Adam mulai menjelaskan maksud kedatanganya dengan hati-hati, menceritakan apa yang terjadi pada Sul, menceritakan semuanya dari awal dengan jelas. Lalu berusaha menenangkan Ibu tiga anak itu, dan memohon agar mau ikut bersamanya ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta Pusat, tempat dimana Sul saat ini terbaring dalam kondisi koma akibat dua luka tembak pada bagian dada dan perut.
Setelah berberapa saat terhanyut dalam tangis, Ibu akhirnya bangkit dari duduknya, mengikuti Kapten Adam keluar dari rumah, kemudian berhenti memeluk Ira dan Fariz, membisikan apa yang telah terjadi pada Abangnya, wajah kedua adik Sul itu sekejap berubah sedih, air mata mereka meleleh membasahi pipi. Namun ketiganya masih cukup kuat untuk melangkah goyah masuk ke dalam mobil unit patroli, duduk berdekatan di kursi penumpang belakang. Kapten Adam menyusul masuk dan menutup pintu depan. Kapten Syarif mulai membawa mobil melaju perlahan menuju ke jalan raya, keluar dari perkampungan kumuh itu.
Kapten Adam menatap rumah-rumah gubuk yang terlewati, dindingnya dibangun dari tripleks usang, tembikar, atau potongan papan-papan kayu yang tidak lagi kokoh, sedangkan atapnya merupakan seng-seng berkarat atau bahan apa saja yang bisa diselipkan untuk menutupi rumah. Semua itu ditopang dengan potongan batang-batang bambu yang sangat rapuh. Seorang kakek tua terlihat berjalan tergopoh-gopoh memikul dua ember air di pundaknya yang diambil dari sumur warga, yang merupakan satu dari sedikit sumber air yang ada.
Ini adalah kali pertama bagi Kapten Adam melihat langsung keadaan di perkampungan kumuh, selama ini ia hanya pernah melihat dari layar televisi, kadang membuat hatinya terenyuh, namun perasaan itu hilang saat ia kembali tenggelam menjalani kesibukannya, seakan keadaan orang-orang di perkampungan kumuh itu tidak pernah menyentuh hatinya.
Kini ia bisa menyadari betapa nyata penderitaan dan keterbatasan yang harus dihadapi orang-orang yang hidup di tempat ini. Dan betapa ia mengabaikan semua itu selama ini. Kapten Adam mengalihkan pandanganya pada kaca spion atas, melihat pantulan refleksi dari Ibu Sul yang memeluk pundak kedua anaknya, saling menguatkan.
*****
Mobil berhenti di halaman parkir RSCM yang masih kosong karena jam baru menunjukan pukul setengah tujuh pagi. Kapten Adam keluar dari mobil, menuntun Ibu, Ira, dan Fariz masuk melewati pintu utama rumah sakit, berjalan menyusuri lorong panjang lalu berbelok ke kanan, memasuki ruangan uni Gawat Darurat, berhenti di depan sebuah kamar rawat inap nomer 017.
Ibu menatap wajah Kapten Adam sejenak, “Apakah anak saya akan dipenjara Pak?” Tanya Ibu berbisik.
“Kasus Sul akan dibawa ke pengadilan, proses hukum harus tetap berjalan. Tapi saya bisa pastikan Sul dibebaskan dari segala tuntutan, dia tidak bersalah.”