"Waaaagelllaaaaseeeeh" itu kata pertama yang di ucapkan Mega kepada Ralin saat menyusulnya ke klinik yang sudah menjadi rumah ketiga untuk Ralin selain kedai kopinya dan tentu saja panti asuhan Permata Hati.
"Lo ya Lin kalo di kenal ama mentri sosial pasti udah jadi duta kemanusiaan nasional negara kita." Mega menghempaskan tubuh pada kursi tunggu klinik yang terbilang keras, tapi kerasnya benda itu tidak ia rasa karena rasa kesalnya pada Ralin, sahabat sekaligus bosnya.
"Biasa aja mba, lo bantu gue gih biar kenal gitu." Ralin hanya menjawab sekenanya ucapan sahabatnya Mega. Bukannya tidak tahu kalau Mega kesal, tapi malas juga meladeni kekesalan yang sama berulang kali.
Mereka sedang menunggu dokter yang tengah memeriksa Katnis, salah satu anak panti yang di bawa Ralin ke klinik karena diare yang dia alami. Membawa anak panti berobat sudah menjadi kegiatan biasa untuk Ralin. Bahkan para dokter dan perawat di klinik itu sudah mengenalnya.
"Lo ga cape Lin? Semua penghasilan kedai lo, hasil kerja lo, disumbangin semua ke panti,apa ga kepikiran buat yang lain?" tanya Mega dengan lirikan tajam dan sarkas.
Ralin hanya menggeleng. "Harta ga di bawa mati Ga. Lagipula mereka lebih butuh."
"Iya gue tau, tapi ga semua dan ga selalu kali Lin. Bikin niat gitu buat gue uga bial bica eli mobil ayak amu," canda Mega menirukan suara anak kecil. Terus terang, tingkahnya itu demi mengurangi rasa kesalnya pada Ralin.
"Huuuuuuu modus kamu, emang mau punya harta dari sedekah? Tanggung jawabnya berat lho neng."
"Ntar gue nego deh ama malaikatnya, kalo perlu gue kasih kompen," gurau Mega.
"Ngarep sodaraan ma malaikat."
"Hihihi kali aja, sapa tau gitu malaikatnya tersentuh."
"Ga mutu tau." Masuk ke mode serius pandangan Ralin meratap ke depan. "Ini pilihan gue Ga, sepertinya Tuhan menghendaki gue untuk mengabdi pada anak-anak yang kurang beruntung itu. Selain dari ini gue ga tau mau mengarahkan hidup gue kemana."
Mega memeluk Ralin. Dia tahu betul kisah masa lalu sahabatnya ini. Kejadian yang menimpa Ralin yang mengakibatkan dirinya harus kehilangan miliknya sebagai seorang wanita, comoohan dan pergunjingan dari lingkungan keluarga, saudara bahkan tetangganya hingga membuat Ralin harus pergi meninggalkan kampung halamannya karena tidak kuat menghadapi segala tekanan, sampai Ralin memutuskan untuk pergi ke tempat yang tidak satu orang pun mengenalnya dan masa lalunya.
Sempat lama berpikir, Ralin memilih Bandung sebagai tempat pelarian. Di sana dia bertemu Mega.
Ya, Ralin memutuskan menetap di Bandung. Mega saat itu seorang mahasiswa dari luar kota Bandung yang kesulitan dengan biaya hidup dan biaya kuliahnya dibantu oleh Ralin yang dengan sukarela memberinya tempat tinggal tanpa meminta biaya sepeser pun.
Ralin juga sebenarnya saat itu membutuhkan bantuan Mega untuk mengenalkannya dengan kota Bandung, kota yang masih asing baginya. Dan setelah di ospek oleh Mega, Ralin kini fasih dengan seluk beluk kota itu.
"Okay, let's do the best. Gue tau lo kuat. Jangan mellow ya, gue semalem udah cukup nangis nonton drakor," hibur Mega meskibtak banyak berpengaruh untuk Ralin.
Tidak lama kemudian dokter yang memeriksa Katnis keluar dari ruang pemeriksaan dan menghampiri Ralin. Serentak mereka berdiri dari duduk menyambut sang dokter, syukurnya tidak ada raut mengkhawatirkan di wajah dokter muda itu.
"Gimana dok Katnis ga apa-apa?" tanya Ralin.
"Ga apa-apa dek, Katis udah ditangani, setelan infusnya habis nanti bisa dibawa pulang, ini ada resep yang harus ditebus, tolong diawasi agar obatnya dihabiskan dan makannya juga harus di jaga ya!" wejang sang dokter.
Mungkin hanya Mega yang menyadari tatapan dokter itu pada sahabatnya.
"Baik dok, terima kasih."
"Ini ga apa-apa obatnya di tebus dek Ralin atau kita kirim tagihannya ke panti?"
"Ga usah dok, saya yang tanggung, ga apa-apa." Ralin menyanggupi. Baginya bukan hal sulit untuk sekedar menebus obat.
"Pak dokter kayak ga tau dek Ralin aja, dia ini baik hati, loyal, perhatian, cantik pula. Istri material banget kan pak?" Mega menimpali, tidak tahan menggoda pria bersneli itu.
"Husshh diem ga!"
Mega sengaja menggoda sang dokter yang cintanya berulang kali di tolak Ralin. Bahkan dokter itu pernah meminta nomor ponsel Ralin melalui Mega, tapi sayang Ralin tidak rela kalau Mega memberi informasi apapun pada dokter atau pria lainnya yang meminta informasi tentang dirinya. Jika Mega melakukannya, itu menjadi akar bubarnya jalinan persahabatan.
"Iisshhh biarin."
Tiba-tiba seorang perawat datang terengah-engah menghampiri mereka. Seketika Ralin, Mega, dan dokter Diko mengalihkan pandangan pada sang perawat.