Aku tetaplah diriku

Devi Wulandari
Chapter #2

Menjadi sasaran

Kami semua sudah berada diruang makan, sedang menyantap makanan, dan bersiap memulai aktivitas masing-masing.

"Sabi, kamu jangan cari masalah sama Rinjani ya, Ibu denger dia anaknya suka gangguin orang dan merundung," kata Ibu disela makannya.

"Iya Ibu."

"Apalagi kayak semalam jangan sampe terulang ya," pesan Ayahku.

"Iya Ayah. Lagian kan memang Rinjani yang salah," belaku.

"Iya betul kak, Arju ngeliat sendiri kok," ternyata Arju juga melihat siapa yang salah disana.

"Walaupun dia yang salah lebih baik diem aja, dan jangan diladenin, biarin aja dia," kata Ibu.

"Iya Ibu, Sabi bisa kok jaga diri."

"Bagus deh kalau kamu ngerti," ucap Ibu.

Setelah selesai makan aku dan Arju diantar supir ke sekolah, sedangkan Kakakku bersama pacarnya ke kampus.

Sesampainya disekolah aku langsung masuk ke kelas, saat menuju kelas tadi kudapati mata sinis dari salah satu teman Rinjani, anak itu memang banyak anggotanya, hingga jika dia membenci seseorang maka satu sekolah bisa dibuat membenci orang itu juga.

Saat di kelas aku langsung memasang HeadPhone dan mendengarkan musik, itu adalah salah satu rutinitas di sekolah buatku.

Kebiasaan ku jika sedang mendengarkan musik aku pun membaca novel online, musik dan novel adalah salah satu duniaku.

Ditengah-tengah asyiknya aku membaca novel tiba-tiba saja HP ku ditarik oleh seseorang, aku langsung melihat siapa orang itu, dan ternyata dia adalah teman Rinjani, karna disana juga ada Rinjani.

"Oh ini anaknya yang sok jagoan itu," kata perempuan itu.

"Iya Salsa, dia nih sok jagoan, sok ngartis lagi," tambah Rinjani.

"Balikin HP gue," paksaku sambil menarik HP ku.

"Kalau dia urusan lo aja Sal, gini doang mah gue males ngeladenin," kata Rinjani yang membuatku muak mendengarnya.

"Lo mau HP lo?" tanyanya sambil menenteng HP ku.

"Gak usah banyak tanya deh, itu kan punya gue jadi gak perlu ditanyain lagi ya harus dibalikin," jawabku padanya.

"Songong yah Rin, padahal dia bisa apa sih?" sombong seorang Salsa.

"Berani dimulut doang, nyatanya apa..."

Belum selesai Rinjani bicara HP- ku sudah kurampas dari tangan Salsa. "Nih milik gue udah sama gue," ucapku.

Tentu saja rasa muak semakin menjadi-jadi dimata kedua orang itu.

Saat Rinjani kembali ingin merampas HP-ku, tanganku langsung menepisnya, lalu aku pergi meninggalkan mereka, aku tidak suka berada disituasi seperti itu.

Tentang apa yang dipikirkan mereka aku tidak peduli. Aku pergi ke perpustakaan sekolah agar tidak ada yang menggangguku.

Aku hanya memiliki 2 teman, tapi bukan sahabat seperti orang lain, aku tidak bisa dengan mudah akrab pada orang lain, aku hanya bicara sepentingnya saja.

Jam pelajaran pertama pada hari ini adalah Matematika, dan jelas itu bukan pelajaran yang kusuka.

Seperti saat ini contohnya, guru menjelaskan dan aku sibuk memainkan HP dengan dicover buku, berharap guruku tak melihatnya.

"Eh Sabi lagi ngapain tuh," oceh teman yang sejajar denganku duduknya.

"Apaan sih," gerutuku.

Pak Ali selaku guru matematika hanya melirik saja pada kami. Aku pun dengan sigap bertingkah seolah orang yang benar-benar sedang belajar.

Dan ketika bapak itu sudah tidak memperhatikan lagi aku kembali seperti semula.

Tapi apa yang terjadi, disaat aku sedang asyik dengan HP-ku, dan Pak Ali sedang duduk menghadap kami, si jahil Joko menarik buku, dan membuat HP ku terlihat.

"Kini kau tercyduk main HP diem-diem," ucap Joko dengan nyanyian dan goyangan asalnya itu.

"Sabiiii... Maju kedepan!" perintah Pak Ali. Aku langsung berdiri dan menatap sinis Joko.

"Wek.. Rasain lo," ejeknya padaku. Mungkin ini adalah ajang pembalasan dendam, karna aku juga pernah melakukan itu padanya hingga ia dihukum. Oh no, ini salahku.

"Silahkan keluar dan hormat di tiang bendera sekarang!" titahnya saat aku berada didepannya.

Tanpa jawaban apapun aku keluar saja, enggan berdebat apalagi seolah aku tidak bersalah.

"Kamu bapak awasi, kalau kamu tidak hormat bendera maka hukuman kamu bakal lebih lagi," ujar Pak Ali saat aku berjalan diluar kelas.

Aku juga tidak peduli dengan apa yang akan dikatakan orang padaku, tanpa pikir panjang aku langsung saja ke lapangan upacara dan hormat.

Beberapa siswa memperhatikan ku disini dan aku seolah tidak melihat saja.

Disaat aku tengah lelah tiba-tiba sebuah juluran tangan yang membawa sebotol air membuatku heran.

"Nih minum," ucapnya.

Saat aku menoleh barulah aku tahu kalau dia adalah Akbar.

Aku menolak dengan menggelengkan kepalaku.

Dia tersenyum. "Minum kamu pasti capek, haus," suruhnya.

Lagi-lagi aku menolak.

"Yaudah kalau lo gak mau aku bawak lagi ya," kata Akbar.

Sebenarnya aku jadi sedikit ragu saat ia mengatakan itu, tapi aku enggan menerimanya.

Saat dua langkah ia berjalan aku pun langsung menghentikan.

"Eh tunggu," panggilku.

Akbar langsung kembali dan memberikan minuman itu padahal aku belum memintanya, dia seperti orang yang sangat mengerti saja apa yang kurasakan dan yang ku mau. Aku langsung meninumnya, melepaskan rasa haus dan dahagaku.

"Makasih," ucapku sambil memberikan kembali minum itu.

"Iya. Oh iya semalem aku lupa bilang makasih, dan lupa bilang kalau aku suka suara kamu," kata Akbar.

Lihat selengkapnya