Semuanya terlihat kosong di depanku. Meskipun hamparan sawah ini sangat luas, tapi tetap saja terasa sangat sempit. Seperti tidak ada ruang untukku bergerak. Udara di sini sangat nyaman untuk dinikmati, tapi aku bosan seperti aku ingin mati. Rasanya seperti aku sedang memakan saus tomat selama dua minggu tanpa henti, menjijikan dan memuakkan. Meskipun begitu, aku harus tetap bertahan menunggu berjalannya waktu yang terasa begitu lambat. Hanya sebentar lagi aku akan meninggalkan tempat ini. Jauh dari rutinitas yang membosankan, lalu melihat dunia yang sesungguhnya. Dunia yang sangat menarik yang telah memanggil-manggilku sejak sangat lama.
Seperti biasanya, dia selalu saja begitu. Ketika aku sedikit tersadar dari lamunanku, suara gadis itu terdengar sayu dari kejauhan. Simla. Dia berlari terengah-engah menghampiriku, sebelah tangannya melambai dan bibirnya tersenyum. Dia ceria seperti biasanya. Bodoh dan bertingkah manis, tanpa peduli dengan pikiran orang lain. Gadis itu, adalah bentuk lain dari stresku. Dia salah satu alasan kenapa aku sangat membenci tempat ini.
Kuhiraukan saja.
“Venus, aku memanggil-manggilmu. Kau tidak dengar?”
“Tidak.”
Seperti biasanya dia duduk tanpa permisi di dekatku tanpa mempedulikan perasaanku. Perempuan ini adalah iblis yang nyata. Dia ingin menguasaiku untuk kepentingannya, dia ingin membuatku terobsesi kepadanya dengan cara yang halus, dia seperti racun yang bereaksi lama−yang suatu hari akan menghancurkan organ tubuhku. Sungguh, aku ingin menghilang dari hadapannya.
“Apa yang kau lakukan di sini?” Tanya Simla dengan raut wajah polos.
“Tidak ada!” Jawabku lirih. Aku benar-benar tidak punya gairah untuk meladeninya, tapi dia, tidak ingin menyadarinya.
“Tidak ada? Itu kedengaran aneh ketika kau menatap semuanya dengan penuh pengamatan. Apa yang kau pikirkan? Mungkinkah warna hijau di semua tempat membuatmu terganggu?”
“Hah, sepertinya begitu.” Aku marah sekali. Dia bersikap seolah dia mengetahui segalanya.
“TIDAK BOLEH!”
Ada apa dengannya? Kenapa dia tiba-tiba berteriak?
“Kau tidak boleh membenci warna ini. Karena hijau ini ... adalah rumah kita.”
“Hanya kau sendiri yang menganggapnya rumah, Simla. Aku duluan.”
“VENUS!”