Aku Tidak Jatuh Cinta

Nine
Chapter #2

Waktunya Tiba

Ketika aku membuka mata, ayah sudah ada di depanku. Di tangannya, ada piring kecil yang berisi tumpeng yang di hiasi beberapa potong ayam kampung. Aku tersenyum pelan sambil mengusap-usap rambutku.

“Apa permohonanmu?” Tanya Ayah sebelum aku memotong tumpengnya.

“Segera pergi dari desa ini!” Jawabku singkat diikuti oleh tawa kecilnya.

“Ada yang lain?”

“Tidak, hanya itu.” Lalu aku memotong tumpengnya.

“Selamat ulang tahun, nak. Kau sudah dewasa sekarang!”

“Venus selalu dewasa. Percayalah! Ayah hanya tidak menyadarinya.” Kataku percaya diri.

“Ya. Termasuk untuk mempunyai seorang gadis.” Goda ayah. Aku tertawa pelan.

Sejujurnya, aku tidak pernah memikirkannya. Bahkan muak memikirkannya, ketika hanya ada Simla yang kulihat.

“Itu tidak mungkin ayah, aku tidak menemukan siapa pun di sini!”

“Bagaimana dengan yang di depan rumah kita?”

Mustahil.

Dari luar rumah aku mendengar suara gaduh beberapa orang, aku meninggalkan ayah lalu berlari membuka pintu, kemudian duduk di tangga kayu rumahku sambil memperhatikan beberapa pekerja di keluarga Simla yang sibuk memindahkan tumpukan jerami yang entah Eyang gunakan untuk apa−dan telah berminggu-minggu berada di sana. Rumahku dan rumahnya Simla saling berhadapan, ada sebuah halaman besar di depan yang memisahkan rumah kami, halaman bersama.

Aku bisa melihat Simla tempatku duduk ketika dia melewati jendela yang setengah terbuka, aku bisa melihat Simla yang berlari kencang menuju tangga dan sepertinya siap-siap terjun bebas dari atas rumahnya ke tumpukkan jerami yang kini sudah tidak ada. Aku tergerak sedikit hendak menghentikannya, tapi dia telah melompat bebas tanpa memikirkan apapun sambil berteriak dengan suara jelas dan nyaring.

“Selamat ulang tahun—heeee … eeee … eee … ee … tidak mungkin. AAAAHHHH!”

Dia jatuh tersungkur di tanah dan berguling hingga beberapa meter ke depan. Aku berlari melompati beberapa anak tangga di depanku, menghampirinya.

“SIMLA!” Teriakku khawatir.

Kepalanya terbaring di tanah dan kakinya bersandar ke atas di sebuah batang kayu mati. Seluruh tubuhnya tampak kacau, penuh memar.

“Selamat ulang tahun, Venus!” Katanya pelan, dengan seuntai senyum yang lumayan manis. Tapi wajahnya tidak dapat menyembunyikan rasa sakitnya.

“Te-terima kasih!” Jawabku ragu, soalnya ini bukan waktunya untuk mengucapkannya.

Beberapa pekerja berlari menghampiri kami ketika mendengar suara teriakanku, “Ka-kau baik-baik saja?” Tanyaku memastikan, aku masih belum berani menyentuhnya, takut jika saja terjadi sesuatu.

Lihat selengkapnya