Simla! Simla! Simla!
Aku tersentak kaget mendengar suara Eyang di luar kamar, aku ketiduran. Simla juga belum bagun.
Benar-benar kacau. Posisi kami terlalu dekat, sampai-sampai jantungku hampir meledak karena deg-degan. Jangan salah paham, aku hanya remaja yang sedang dalam masa puber--yang sebelumnya tidak pernah sedekat ini dengan perempuan.
Aaaahhh... aku sulit bernafas. Aroma tubuhnya Simla, seperti bunga. Sabun apa yang dia pakai? Tidak, ini bukan saatnya untuk memikirkan hal itu, Eyang ada di luar dan, aku dalam masalah.
Secara perlahan kugeser posisiku, sedikit menjauh dari Simla--dia tidak akan sadar kan kalau kami tidur dalam posisi sedekat ini samalaman?
Setelah merasa sedikit jauh, kuusap rambutnya agar dia terbangun.
“Ve−”
“Sssstttt!” Aku menutup mulutnya pelan dan dia terpaku menatapku, aku mendekat dan berbisik di telinganya, “Eyang ada di depan kamarmu dan dia tidak tahu aku di sini. Bersikaplah seperti biasa, aku pergi dulu.”
Simla mengangguk mengerti, aku berdiri membuka jendela kamarnya lalu melompat keluar. Jarak antara jendela dan permukaan tanah sekitar 3 meter, tapi tidak masalah, aku mendarat dengan aman. Di luar, masih sangat gelap−belum ada seorang pun, aman.
Jauh dari rumah, suara adzan terdengar di Surau dekat Balai Desa.
“Dingin sekali.” Ucapku pelan, aku berlari menuju rumahku, sudah ada ayahku di teras sedang berwudhu. Aku melewatinya pelan, berharap dia tidak melihatku.
“Semalam tidur di mana?”
Aku berhenti. Sudah kuduga, dia pasti akan bertanya seperti itu.
“I … itu …” Sial. Sudah pasti dia tahu, di tempat ini hanya di rumah Simla satu-satunya rumah yang mungkin kukunjungi.
“Eyang mengetahuinya?”
“Tidak.”
“Bagus. Tetap seperti itu dan, semoga Simla bisa bekerja sama. Siap-siaplah, kita berangkat sebelum jam sepuluh pagi.”
Aku mengangguk dan meninggalkannya. Aku naik di atas rumah dan kuperiksa kembali barang bawaanku, semuanya sudah terbungkus rapi di tempatnya masing-masing.
***
Sudah saatnya untuk pergi. Aku menenteng koperku‒barang terakhir yang akan kunaikkan di atas mobil Pick Up tua milik ayahku. Setelah itu aku berpamitan kepada beberapa pekerjanya Eyang dan menemui Eyang yang duduk di teras rumahnya.
“Jaga diri baik-baik Nak, sering-seringlah berkunjung kemari!” Kata Eyang sambil menepuk-nepuk pundakku, “Dia ada di dalam, di kamarnya.”
“Ya?” Tanyaku heran.
“Simla. Apa kau tidak akan berpamitan padanya?”