Aku Tidak Jatuh Cinta

Nine
Chapter #4

Keluarga Baru

Dari tempatku naik bus, memerlukan waktu kurang lebih dua jam untuk sampai ke kota. Kunikmati perjalanannya sembari melamunkan banyak hal. Begitu sampai di terminal bus kota, aku melihat seorang laki-laki sebayaku yang memegang papan besar bertuliskan namaku. Was-was aku mendekati laki-laki itu, sebelum sempat aku mengatakan apapun, dia menyapa terlebih dahulu.

“Venus, kan?” Tanyanya sedikit ragu.

“Ya.” Jawabku, mungkin orang suruhan ibuku.

“Ah, aku memang pintar. Meskipun Bunda memberikanku fotomu yang saat berusia 4 tahun, tapi aku tetap bisa mengenalimu.” Katanya percaya diri.

Apa maksudnya Bunda?

“Kau siapa?” Tanyaku bingung.

“Aku kakakmu. Kau sangat jahat, bagaimana mungkin kau melupakanku!”

Aku diam tanpa kata, soalnya, sekecil apapun saat aku berpisah dengan ibuku, aku tidak akan pernah lupa akan statusku sebagai anak tunggal.

“Ayo pergi, Bunda menunggu di rumah.” Ajaknya tanpa membiarkanku bertanya lebih jauh lagi, dia menggandeng tanganku mendekati mobil yang terparkir sembarangan di dekat penjual bakso di dalam terminal.

Aku menaiki mobil Avanza berwarna hitam itu yang beberapa menit kemudian melaju dengan kecepatan sedang.

“Aku Raka, kakak keduamu!” Laki-laki itu memperkenalkan dirinya tanpa mengalihkan perhatiannya dari jalanan yang ada di depannya.

“Kakak kedua?” Tanyaku bingung, saat ini aku merasa seperti orang yang sangat tolol.

“Ya. Kau masih punya seorang kakak lagi, dia saat ini kuliah di STKIP, semester tiga. Kelas berapa kau sekarang?”

“Kelas dua!”

“Kelas tiga? Wahhh! Aku juga! Berarti kau tidak perlu memanggilku kakak. Hahahaha!” Raka tertawa terbahak-bahak. “Berapa umurmu?” Tanyanya lagi.

“19 tahun, kemarin.” Jawabku.

“Benarkah? Aku masih dua bulan lagi. Berarti aku adalah adik. Hahahaha!” Dia tertawa lagi seperti sebelumnya, aku ikut tertawa dengannya, tapi canggung.

Mobil yang membawaku pergi memasuki gerbang BTN Sadia dan berhenti di depan sebuah rumah mewah di antara rumah mewah lainnya, kemudian kami sama-sama turun dari mobil ketika telah terparkir dengan baik di halaman rumah, perasaanku masih sedikit tidak nyaman.  

“Apa ibuku benar-benar tinggal di sini?” Tanyaku memastikan.

Seingatku, saat aku dan ayah meninggalkan ibu sendirian, rumah kami tidak sebesar ini dan kami tidak tinggal di sini.

“Ya, tentu saja. Dia ada di dalam. Ayo masuk.” Ajak Raka, dia membantuku menurunkan barang-barangku dan membawanya masuk ke dalam rumah.

Kurang dari lima menit kemudian, seorang perempuan cantik keluar dari dalam rumah menyambut kami. Aku gugup melihatnya lagi, setelah lebih dari sepuluh tahun kami berpisah. Dia sedikit berubah, buruban dan tua‒tapi tetap cantik. Ibuku berteriak histeris menyambutku.

“Tuhan. Siapa yang ku lihat ini? Kau sudah besar.” Katanya tidak mampu menahan air mata bahagianya.

Raka meninggalkan kami.

“Kau sudah besar dan juga sangat tampan.”

“Ya. Ibu masih cantik seperti dulu!”

“Benarkah? Oh sayang ... peluk ibu sekarang!” Kata ibuku manja.

Aku memeluknya erat. Aku sangat merindukannya, benar-benar merindukannya.

“Ayo kita ke ruang keluarga, kuperkenalkan kepada ayahmu dan saudara-saudaramu.”

Ayahku dan saudara-saudaraku?

Sekarang semuanya masuk akal, ibuku telah berkeluarga lagi. Aku mengangguk dengan canggung, ini di luar dugaanku. Aku mengira, selama ini dia sendiri dan aku memikirkannya setiap saat−kapan waktu aku bisa mengisi kekosongannya. Tapi tidak seperti itu. Mungkinkah ibuku tidak memikirkanku seperti aku memikirkannya?

Tapi, saudara tiri? Kupikir tidak buruk juga, ibuku telah menjalani hidupnya dengan baik. Dan aku, sangat bersyukur akan itu.

Aku melewati ruang tamu yang luasnya mungkin sama luasnya dengan rumahku dan rumahnya Simla. Lalu kami masuk ke ruang keluarga, luasnya hampir sama besarnya, diisi oleh berbagai perabotan mewah dan tampak mahal, orang-orang di desaku mungkin tidak pernah melihat hal seperti ini sebelumnya. Di tengah ruangan, yang paling menarik perhatianku adalah televisi. Di rumahku atau pun di rumahnya Simla, tidak ada televisi.

Lihat selengkapnya