Waktu berlalu sangat cepat. Tanpa kusadari, satu minggu telah berlalu. Telepon ibuku masuk bersamaan dengan bel sekolah yang berbunyi nyaring hingga ke ujung koridor. Aku ke area parkir untuk mengambil sepeda motorku, aku buru-buru. Katanya, ayahku ada di rumah.
Aku tidak sabaran, hingga meninggalkan Raka di belakangku. Tidak masalah, dia juga punya sepeda motornya sendiri.
Aku memasuki komplek perumahan, dari jauh, kulihat mobil ayah yang terparkir di halaman rumah. Dia memang sudah di sini. Aku memarkir motorku di dekat mobilnya, nanti akan kutunjukan bahwa aku punya motorku sendiri, dan tentu saja, akan kuijinkan dia mengendarainya beberapa menit saja.
Aku memasuki rumah, memberi salam dan menatap ayahku yang sedang duduk di sofa ruang tamu dengan mata sedikit berkaca-kaca. Aku tersenyum dan meraih tangannya, menyalaminya. Sedikit menempelkan wajahku di telapak tangannya, dan ketika kuangkat kepalaku, aku baru menyadarinya. Ayah datang bersama Simla.
Aku sangat merindukan ayahku, dan normalnya orang yang harusnya ku lihat adalah dia, dan yang datang bersamanya harusnya kuabaikan. Tapi aku, menatapnya lebih lama dari yang kukira.
Ayah menepuk pundakku, menyadarkanku untuk segera mengalihkan perhatianku darinya. Meskipun aku tahu, Simla juga masih menatapku tanpa berkedip. Karena itu, aku merasakan sesuatu yang asing. Entah apa.
Ayah mulai mencairkan suasana dengan mulai menanyakan kabarku, sekolahku, dan banyak hal. Pertanyaannya lebih banyak dari biasanya, dan tentunya aku bisa merasakan kesepiannya—karena kutinggalkan.
Aku bercengkrama dengan ayah dalam waktu yang cukup lama, tapi tidak dengan Simla. Entah kenapa, rasanya sangat canggung. Padahal aku terbiasa dengannya, tapi kali ini dia menjadi asing. Aku bahkan tidak berani menatapnya lagi dan terus menghindari tatapannya, Simla juga bertingkah aneh. Biasanya dia akan lebih agresif, dia akan memaksaku untuk bicara meskipun dia tahu aku ingin diam, tapi kali ini Simla hanya memperhatikan kami sambil sesekali meneguk minumannya.
“Dan ngomong-ngomong Venus, kau … belum menyapa Simla, lho!” Kata ayahku dengan menekankan nama ‘Simla’ di kalimatnya. Ini adalah yang paling ingin kuhindari. Jantungku jadi sedikit berdebar, melirik Simla yang duduk di samping ayah.
“Hai Simla.” Kataku lirih, lalu aku beralih menatap cemilan di atas meja dan pura-pura menyibukkan diri dengan memilih-milih cemilan itu. Ada yang aneh denganku, kenapa aku bertingkah seperti ini? Lagi pula ini hanya … Simla. Dia Simla yang menyebalkan.
Kenapa dia juga tidak mengatakan apapun? Padahan aku baru saja menyapanya−lagi pula aku juga tidak mengharapkan respon darinya, siapa yang peduli jika dia hanya … diam.
“Katanya Simla, ‘Hai juga’.” Kata ayah sambil cengengesan.
Kenapa ‘katanya Simla’? Memangnya dia tidak bisa bicara, dan sekarang ayah menjadi juru bicaranya? Ada apa dengan mereka berdua, padahal hanya dua bulan tidak bertemu sudah berubah seperti ini−dan sudah sangat akrab, dan bahkan sudah mengerti satu sama lain tanpa harus saling bicara−bukan berarti aku peduli.
“Apa kabar?” Tanyaku lagi, hanya sekilas meliriknya.
“‘baik’ katanya.” Jawab ayahku.
Aku menatap ayahku agak kesal, “Kenapa ayah yang menjawabnya?”
“Sudah kuduga, kau pasti lupa, Venus. Hari ini kan hari ulang tahun bibi Zaenab.”
Deg!
Aku melupakannya. Bodohnya aku, bagaimana bisa aku lupa? Di hari ulang tahunnya bibi Zaenab−ibunya Simla−Simla selalu berpuasa bicara selama satu hari, sebagai hadiah ulang tahun untuk ibunya. Puasa bicara selama satu hari itu bermakna bahwa Simla menjadi anak baik dalam satu hari, dia akan bertingkah kalem dan sedikit … manis. Hanya sedikit.
Setiap tahun aku selalu menantikan hari ulang tahunnya bibi Zaenab−meskipun aku belum pernah melihatnya−karena hanya di hari kelahirannya, Simla membiarkanku hidup tenang.
“Maaf Simla, aku lupa.” Kataku, sekarang aku sudah jauh lebih tenang menghadapinya. Simla mengangguk mengerti, sekarang aku tahu bahwa dia tidak pernah bertingkah aneh, tapi akulah yang bertingkah aneh.
“Venus, ayah ingin meminta tolong padamu. Boleh?”
“Apa itu?” Tanyaku heran, ayah jarang menggunakan kata ‘tolong’ di setiap permintaannya, kecuali jika dia tahu itu berat bagiku.
“Ajak Simla berkeliling kota.”
Ya. Itu memang berat. Aku menatapa ayah sebagai tanda penolakanku. Tapi ayah hanya tersenyum sambil mengatakan, “ayah ingin beli perlengkapan di pasar, di sana sangat ramai dan sedikit kotor. Kasihan jika ayah membawanya serta, Simla akan sangat rishi, dia tidak terbiasa dengan suasana kota. Lagi pula, ini pertama kalinya Simla ke kota, jadi berikan kenangan yang manis untuk perjalanan pertamanya, karena mungkin saja ini akan menjadi terakhir kalinya dia ke sini.”
Benar juga, Eyang tidak mungkin membiarkan Simla keluar dari desa dengan alasan yang tidak−TUNGGU!
“Apa Eyang yang mengijinkan Simla ikut dengan ayah?” Tanyaku menggebu, harus dipastikan. Mereka berdua serentak memalingkan wajahnya, dan dengan serentak pula meminum jusnya sampai habis. Yang benar saja.
“AYAH!” Bentakku.
“Venus?” Panggil ibuku heran, soalnya aku membentak orang tua, tapi ayahku diam saja. Kadang-kadang ayahku bertingkah laku seperti anak-anak, dan di saat itu aku biasanya kesulitan menghadapinya.
“Ayah, jelaskan.” Desakku, dan aku mengabaikan ibu. Ayahku tertawa cengengesan dan Simla di sampingnya tertunduk sambil memain-mainkan bajunya, itu pertanda bahwa dia telah melakukan kesalahan yang dia tahu itu salah. Simla terlalu mudah ditebak, begitu pula dengan ayah.
“Kami berdua kabur sebelum semua orang bangun.” Katanya kemudian, serius?
“Kabur?” Tanya ibuku heran, tentu saja dia tidak tahu kebiasaan ayah ketika dia sedang bersama Simla. Pengaruh Simla terhadap ayah sangat luar biasa, karena sebenarnya, ayah sangat menyukai Simla.
“Yang benar saja.” Gumamku sambil membanting pelan kepalaku di sofa.
“Sekarang ayah akan pergi ke pasar, jangan khawatir, kami akan pulang sebelum malam. Sebelum Eyang menyadari kalau Simla ikut denganku.” Katanya enteng, dia keluar dari rumah tanpa beban apapun. Bagaimana bisa?
Dia pergi, meninggalkanku dengan Simla‒dan ibu tentunya. Tapi ibu sekarang tidak terlalu penting, yang penting adalah Simla. Bagaimana aku harus menghadapinya? Bagaimana aku harus memarahinya?
Beberapa saat kutenangkan diriku, kemudian menatap Simla dengan rasa kesal yang masih tertinggal.
“Jadi, hari ini kau bolos sekolah?” Tanyaku, dia mengangguk. Aku mendesah. Ini benar-benar… menyebalkan. Kenapa aku harus peduli jika dia bolos sekolah? Aku merasa, seperti walinya saja.
“Sudahlah.” Ucapku pelan. “lagi pula sudah terjadi. Aku ganti pakaian dulu baru kita pergi.” Kataku sambil bangkit berdiri. Hendak meninggalkan dia dengan ibu yang hanya diam memperhatikan kami. Tapi Silma juga ikut berdiri. Dia mengikutiku. Terserah.
Aku tidak mengatakan apa-apa, dia pasti ingin melihat kamarku. Ibuku tidak mengatakan apapun, dia hanya melihat kami berdua dengan raut wajah bingung. Mungkin dia kesulitan menebak Simla itu orang yang seperti apa? Saat ini dia sangat kalem, tapi dari ceritanya ayah dia tahu dia menyadari Simla tidak kalem.
Aku membuka kamarku, dan Simla menerobos masuk begitu saja sebelum aku mengijinkannya. Matanya berbinar-binar, dia berlari ke sana kemari seperti bocah yang sedang bermain lompat-lompatan, memeriksa setiap sudut dengan gaya katak.
“Aku akan berganti pakaian di kamar mandi, jangan ikuti aku.” Kataku, dia mengangguk.
Aku menutup pintu kamar mandi dan menguncinya rapat-rapat, takut jika saja Simla akan melakukan hal-hal aneh padaku. Karena dia itu gadis jahat, sangat jahat.
Setelah selesai ganti baju, aku tidak langsung keluar. Aku sedikit berpikir, harus ku bawa ke mana dia? Haruskah aku membuatnya senang atau sebaliknya? Jika senang, dia akan kembali. Jika tidak, ini akan menjadi pertemuan terakhir kami. Itu bagus, tapi juga… tidak bagus. Aku tidak tega.
Aku keluar.
Lalu menemukan Simla yang sedang berdiri di depan kaca, menatap bayangannya sendiri. Aku juga ikut menatapnya. Yah, tentu saja tidak mampu kualihkan pandanganku. Karena sebenarnya, dia sangat … cantik. Lebih cantik dari gadis mana pun yang pernah aku lihat, di lingkunganku sekarang, di sekolah, atau di mana pun, tidak ada yang mengalahkan kecantikannya. Bahkan Latika, tidak sebanding dengannya. Aktris yang biasa kulihat di televisi, dibandingkan dengan Simla, biasa saja. Dan aku baru menyadarinya, beberapa detik yang lalu.
Tapi, aku tidak tertarik dengan gadis cantik−seperti Simla. Itu hanya apa yang terlihat secara fisik. Cantik yang sesungguhnya itu ada di dalam. Seperti Latika. Sementara Simla, kepribadiannya buruk dan merupakan sumber penderitaan, jadi aku tidak akan tergoda.
Dia berbalik, menyadari kehadiranku. Dia memperhatikanku secara mendetail, penampilanku memang sedikit banyak berubah, aku menyesuaikan keadaan di tempat ini. Rasanya jadi canggung, ketika kami saling memperhatikan seperti ini.
“Ayo pergi.” Kataku, Simla mengikutiku keluar. Tentu saja tanpa komunikasi, berhubung aku pendiam dan Simla sedang dalam kondisi seperti ini. Kami berpamitan kepada ibuku.
Di depan pagar rumahku, aku melihat Raka yang sedang bermain basket dengan yang lainnya, dia belum mengganti seragamnya—bahkan belum masuk ke dalam rumah, tasnya masih di atas motornya.
“Ayo, kuperkenalkan kau kepada saudaraku.” Ajakku. Simla mengikutiku tanpa menunjukkan reaksi apapun. Rasanya, seperti sedang berbicara dengan boneka.
“RAKA!” Teriakku, aku memasuki lapangan basket dan membubarkan anak-anak SMP dan SD yang sedang bermain bersama Raka. Raka menengok, menatapku agak jengkel. Lalu beralih menatap Simla.
Lama.
Tidak berkedip.
Penuh keingintahuan.
Dan itu membuatku terganggu. Kenapa?
“Kenapa?” Tanyanya, padaku. Tapi kenapa dia tidak juga melepaskan pandangannya dari Simla?
“Ini … Simla.” Kataku agak kesal, sekarang aku benar-benar merasakan suasana hatiku jadi buruk.
“Simla?” Tanyanya sedikit terkejut, dia menatapku. Akhirnya. Tapi dia kembali menatap Simla.