Sejak aku membalas suratnya, ayah tidak mengirim surat lagi padaku. Berminggu-minggu telah berlalu, aku sempat berpikir mungkin saja aku salah alamat? Tapi sepertinya tidak. Aku memeriksanya berkali-kali. Membuatku seratus persen yakin bahwa aku tidak salah. Tapi kenapa dingin sekali? Kenapa tidak mendapat balasan? Padahal ini hanyalah sebuah surat.
Sebenarnya, aku tidak peduli dengan surat balasannya. Tapi masalahnya adalah Simla. Bagaimana dia? Bagaimana tanggapannya tentang… hadiah dariku. Aku ingin ayah bercerita tentang Simla di dalam suratnya, seperti sebelumnya. Aku ingin mendengar bahwa dia telah menyampaikan permintaan maafku kepada Simla dan Simla memaafkanku. Aku ingin dia menceritakan seperti apa penampilan Simla ketika dia memakai bajunya? Aku ingin mendengar kabarnya, apakah dia baik-baik saja. Aku ingin mendengar semua tentang Simla.
Yah, aku tahu aku aneh, akhir-akhir ini. Dan ini salah, tentunya. Ini benar-benar salah.
Kenapa aku terus memikirkan Simla?
Ini sama saja dengan … kalau aku menyu−tidak! Tidak, tidak, tidak.
Siapapun boleh, asalkan bukan Simla.
Simla itu menyebalkan, sangat menyebalkan.
Tapi …
Aaah, kepalaku sakit.
Aku hanyalah anak berusia sembilan belas tahun, tapi kenapa masalahku sedewasa ini?
***
Ini keterlaluan. Meskipun aku telah memutuskan untuk sabar menunggu balasan suratku, kesabaranku sia-sia. Sirna sudah. Aku telah memutuskan, dengan kemarahanku, untuk mengiriminya lagi surah. Isinya kira-kira seperti ini;
“Ayah yang jahat, kenapa tidak membalas suratku? Cepat balas, jika tidak, Venus pun akan melakukan hal yang sama.”
Sesingkat itu. Aku yakin, itu akan berhasil membuat ayah kesal—yang akan membuat dia memutuskan untuk segera membalas suratku atau, langsung menemuiku.
Kulipat kembali kertas suratnya, tidak jadi kutulis seperti yang kuinginkan. Karena rasanya seperti anak kecil. Aku seperti sedang merengek. Lebih baik keluar dan nonton film dengan Raka dan kak Adi. Dengan begitu, pikiran tentang Simla akan sirna.
Aku keluar dari kamar, menuruni anak tangan dan mendengar ibuku berteriak memanggilku. Aku menemuinya.
“Venus, ayahmu datang!” Katanya. Aku membelalakkan mataku tidak percaya. Padahal rencanaku belum dijalankan. Tapi sudah terkabul.
Aku setengah berlari menemui ayahku di ruang tamu, tidak sabaran.
“Ayah.” Panggilku, aku menatapnya heran. “Kenapa tidak memberi kabar kalau akan datang.”
“Aku ingin memberimu kejutan.” Kata ayahku.
“Benar-benar mengejutkan.” Kataku.
Ayah hanya tersenyum, sambil mengangkat kedua bahunya.
“Bagaimana kabarmu?” Tanyanya.
“Aku baik-baik saja.”
“Simla menyukai bajunya lho.”
“Eh!? Ma … maksudku, siapa yang tanya.” Kataku pura-pura. Yang barusan itu membuat jantungku tiba-tiba berdebar, tiba-tiba saja membicarakan Simla dan bajunya.
“Tapi kau ingin tahu, kan?”
“Sama sekali tidak. Aku tidak peduli, lagi pula … itu bukan dariku. Itu dari Raka.” Kataku spontan. Gengsi sekali jika harus mengakuinya ketika bertatap muka seperti ini−ayah itu kekanak-kanakan, jadi aku ingin dia tidak berpikiran yang aneh-aneh.
“Lalu kenapa kau menulis itu darimu?”
“Aku tidak menulisnya, itu tulisannya Raka.”
“Sama persis dengan tulisan tanganmu.”
Berisik.
“Kalau begitu, setelah pulang nanti aku akan menyampaikan pada Simla bahwa itu dari Raka.”
Aku menatap ayah dengan kaget—dan tidak setuju, tentunya.