Semalaman aku berpikir tentang Simla, Simla dan Simla. Yang ada di kepala hanya Simla dan aku tidak bisa mengatasinya. Tapi setidaknya aku telah tahu, alasan di balik kerisauanku. Semuanya hanya tentang Simla.
Aku ingin menemuinya, aku ingin melihatnya. Jika tidak, kegelisahanku tidak akan pernah ‘enyah’ dari diriku. Dan Simla selamanya akan menghilang.
Yah, aku tahu aku ceroboh. Aku benar-benar ceroboh. Akal tidak mengendalikan tindakanku lagi, tapi perasaan. Bagaimana bisa aku memutuskan untuk melakukan sesuatu yang sebodoh ini?
Pagi buta aku terbangun, memasukkan sebagian besar pakaianku ke dalam rancel, menyiapkan semua hal yang kubutuhkan untuk perjalananku, kemudian keluar dari kamar dan mengeluarkan motor dari garasi, lalu meninggalkan sepucuk surat untuk ibu dan yang lainnya, bahwa; aku pergi ke desa.
Aku berangkat. Meninggalkan rumah menuju Sambori.
Sepeda motorku melaju kencang di jalanan yang masih sangat sepi.
Selama perjalanan aku tidak berhenti dan singgah di manapun. Aku tidak tahu apa yang akan aku lakukan setelah aku sampai di desa, yang aku tahu aku hanya ingin bertemu dengan Simla. Aku ingin Simla denganku, tidak dengan siapapun. Karena yang pantas untuk Simla hanya aku.
***
Aku sudah melihat gerbang desa dari jauh, perjalanan yang normalnya ditempuh dalam enam jam, kupersingkat menjadi empat jam. Aku membawa motor seperti orang gila, seperti ada setan yang mengejarku di belakang. Ini semua demi Simla. Awas saja jika dia mengecewakanku.
Ketika aku memasuki gerbang desa, aku mendengar adzan subuh yang sedang berkumandang. Ayah pasti akan kaget melihatku, aku tahu itu. Dia mungkin juga marah, atau apa. Tapi aku butuh dukungannya, aku butuh bantuannya. Jadi, harus jujur padanya dan mengutarakan apa yang aku pikirkan.
Ketika melihat rumahku dan rumahnya Simla dari jauh, jantungku berdebar. Seluruh darahku berdesir, desiran yang sangat aneh.
Aku memasuki halaman rumah dan seperti biasanya, ayah sedang di teras— hendak pergi ke surau untuk shalat—berbalik dan dia menatapku, sedikit terkejut tapi tidak mengatakan apapun. Dia hanya tersenyum, kemudian pergi ke surau.
Aku bergegas naik ke atas rumah dan melempar tasku begitu saja, dan seperti angina, kembali turun dan berlari menuju rumahnya Simla.
“SIMLA!” Teriakku tanpa mempedulikan siapapun yang akan bangun mendengar suaraku.
“Siapa?” Seseorang menyahut, seorang laki-laki.
Aku terkejut dan reflek melihat ke arah pemilik suara, dia sedang berdiri di dekat bejana tempat Eyang biasa mengambil air wudhu, letaknya di dekat tangga rumahnya Simla. Aku menatapnya, wajahnya tidak begitu jelas karena gelap. Aku mendekat, memastikan, karena suara itu benar-benar asing bagiku.
“Kau … siapa?” Tanyaku hati-hati.