Aku Tidak Jatuh Cinta

Nine
Chapter #11

Simla dan Calon Suaminya

Setelah lebih dari dua jam menunggu di teras rumah, Simla tidak muncul juga. Biasanya pagi-pagi sekali aku sudah mendengar suara teriakannya melewati anak tangga itu dan berlari menghampiriku, lalu menceritakan mimpinya semalam. Tapi kenapa kali ini tidak? Dia memang tidak tahu aku ada, tapi setidaknya dia harus melakukan kebiasaannya, melompat hingga ke tanah.

Sial. Lupakan tentang Alam, aku tidak tahan lagi.

Aku beranjak dari tempat dudukku, berjalan tergesa-gesa dan menaiki tangga rumahnya Simla. Di ruang tamu ada Eyang dan Alam sedang berbincang-bincang, mereka berdua menatapku. Dan Alam tampak kaget melihat kelancanganku, kuabaikan saja. Aku berjalan lurus melewati mereka berdua karena yang ingin kutemui adalah Simla.

Eyang tidak menghentikanku—tidak pula menyapaku, karena hal ini biasa. Sepertinya Alam juga tidak bisa mengatakan apapun melihat reaksinya Eyang terhadapku.

Setelah melewati ruang tamu, ada tiga kamar kamar yang berjejer, di lorong kamar-kamar itu, ada Simla. Dia berjalan ke arah dapur membelakangiku−tanpa menyadari kehadiranku.

Jantungku berdebar kencang, menyenangkan, tapi juga gawat.

Aku mengatur nafasku, ingin melakukannya dengan sakral, pertemuan kembalinya kami. Setelah itu, barulah kupanggil namanya.

“Simla.”

Simla berbalik dengan terkejut, menatapku yang berdiri sejauh tiga meter di depannya. Kami berdua saling menatap dalam diam. Debar jantungku semakin hebat saja, aku sudah tidak mampu mengendalikannya. Tapi Jiwaku yang bergejolak kini mulai berjalan selaras, melihat wajah Simla, wajah cantik Simla yang memakai baju yang kuberikan.

Aku merasa saat ini seperti juga bisa mendengar suara jantungnya Simla yang berjalan seirama dengan jantungku. Jiwanya yang beresonansi dengan jiwaku, dan tatapan mata kami yang telah terhubung−saling menerjemahkan keinginan yang sama.  

“Simla ...” Panggilku lagi setelah cukup lama kami saling menatap dalam diam.

“Ya?” Jawabnya tanpa berkedip.

“Aku ... aku ...” Semua kata-kata yang ingin kuucapkan pada Simla, sirna. Melihat wajahnya membuat pikiranku kosong, semua beban yang ditanggung pikiranku hilang begitu saja.

“Ya?” Tanya Simla lagi, raut wajahnya mulai mendesakku.

“Aku ... sebenarnya aku ...”

“Ya?”

“Sebenarnya aku ...” Kenapa begitu sulit mengungkapkannya, bahwa aku ingin melihatnya. “Aku disuruh oleh ayahku untuk meminjam pisau.”

Bodooooh. Aku sangat bodoh.

Simla melongo sambil memicingkan mata menatapku. Dia mendesah kesal.

“Ada di dapur. Ambil sendiri.” Katanya kesal. Reaksi kesalnya itu … sangat manis. Seluruh tubuhku jadi panas dan tidak mampu menahan tawa, kututup mulutku dengan tanganku.

“Aku tidak bau, Venus, aku sudah mandi.” Katanya lagi.

Astaga, kenapa tiba-tiba tingkah laku Simla berubah menjadi lucu? Padahal, sebelum ini ketika dia kesal, marah atau semacamnya, dia akan sangat menyebalkan. Lebih terlihat seperti setan daripada manusia.

“Apa yang kau bicarakan, bodoh.” Kataku setelah mengendalikan diriku, aku melewatinya. “Di mana pisaunya?”

“Cari sendiri, kau tidak buta, kan?” Katanya ketus, sambil mengikutiku yang melewatinya.

“Kenapa kau mengikutiku?”

“Aku awalnya memang mau ke sini, aku ingin membuat sarapan untuk kak Alam.”

Deg!

Mendengar dia menyebut nama itu dengan akrab membuatku risih.

“Siapa … itu Alam?” Tanyaku hati-hati.

Meskipun aku sudah tahu, tapi aku ingin mendengarnya dari Simla. Apakah Alam telah menjadi seseorang yang berarti baginya?

“Nanti akan kuperkenalkan.”

Jawaban jangan tidak tertebak. Siapa pula yang ingin mengenalnya?

“Katakan saja siapa dia.” Desakku.

“Kenapa harus, biasanya kau … tidak peduli.”

Aku terdiam, ucapannya benar. Aku salah, sepanjang hidupku aku hanya berbuat salah pada Simla. Sekarang jadi susah memperbaikinya.

“Itu benar, aku tidak peduli. Jangan pernah kenalkan aku pada Alam.” Kataku ketus.

“APA?” Suara Simla sedikit meninggi, “Kau seperti ini lagi, Venus−” Simla segera menutup mulutnya dengan kedua tangannya. Dia marah. Bukan memperbaikinya, tapi aku malah memperburuk. Kenapa aku harus mengajaknya bertengkar di saat seperti ini? Aku seharusnya mengajaknya bekerja sama, menyingkirkan Alam.

“Apa kau baru saja berteriak, Simla?” Tanyaku memastikan, kapan ya terakhir kali dia meninggikan suaranya kepadaku?

“Tidak. Sama sekali tidak.” Katanya salah tingkah, dia kemudian pura-pura menyibukkan dirinya dengan mengambil sayur-sayuran segar yang baru saja di petik yang di simpan di atas baki. Dia berbalik menatapku.

“Ini pisaunya.” Katanya, menyerahkan pisau kepadaku, mengarahkan ujungnya ke arahku dan memegangnya dengan kuat, seolah ingin menesukku.

Aku menerimanya dengan hati-hati, tanpa mengatakan apapun.

Pisaunya sudah ada di tanganku, sudah tidak ada alasan lagi aku di sini−tapi aku tidak ingin pergi.

“Simla!” Suara Alam yang tiba-tiba muncul di balik pintu mengagetkan kami berdua, aku dan Simla sama-sama berbalik menatapnya. Dia tersenyum melihatku, berusaha untuk bersahabat, sepertinya.

“Kau mau membuat sarapan?” Tanya Alam.

“Ya.” Jawab Simla, dengan nada lembut.

“Oh … dia Venus, kan? Eyang sudah bercerita tentangnya.” Kata Alam sambil menggaruk-garuk kepalanya, “Maaf untuk yang tadi pagi, Venus, aku tidak mengenalimu.”

“Tadi pagi?” Tanya Simla heran.

Lihat selengkapnya