Sepulangnya kami dari sungai, aku langsung ke rumahku. Berbaring dan memikirkan kembali kata-katanya Alam. Dia mencintai Simla hingga dia akan kesulitan jika hidup tanpa Simla. Dia hanya pernah melihat Simla sekali saja, satu tahun yang lalu dan dia sudah merasa dirinya sangat mincintai Simla? Bagaimana denganku yang telah bertahun-tahun? Efeknya tidak mungkin bisa dia bandingkan dengan perasaannya.
“Venus!” Ayah mengetuk pintu kamarku, aku keluar menemuinya.
“Ada apa, ayah?”
“Kau sudah bertemu dengan Alam?”
“Ya, tadi pagi.”
“Bagaimana?”
“Apanya yang bagaimana, tidak ada yang menarik untuk diceritakan.” Kataku, meninggalkan ayah.
Aku beranjak keluar dari ruangan. Aku membuka pintu depan, ternyata sudah malam. Kuputuskan untuk duduk-duduk di anak tangga teratas sambil memperhatikan rumahnya Simla, berharap Simla keluar dari rumahnya. Dan aku bersyukur, Alam kembali ke desanya tadi sore, jadi aku bisa merasa sedikit nyaman untuk sementara waktu.
Tapi Simla tidak keluar juga.
“Venus, tutup pintunya. Udara dingin masuk ke dalam, lagi pula ini sudah jam sepuluh malam, sebaiknya kau masuk dan tidur.”
Memangnya aku ini anak SD? Yang jam tidurnya perlu diatur, di rumah ibuku, kami bebas mau tidur jam berapa saja, pulang ke rumah jam berapa saja. Tapi di desa, jam sembilan malam sudah tidak ada orang yang berkeliaran, jam sepuluh malam mereka semua sudah tidur. Hanya suara binatang di dalam gunung yang terdengar di malam hari.
Dingin. Ternyata benar-benar dingin. Terbiasa dengan udara kota selama berbulan-bulan, aku hampir lupa dengan udara di desa. Di sini sangat dingin, aku perlu membiasakan diri lagi.
Tidak mungkin Simla keluar di jam segini, terlebih lagi sedingin ini.
Aku memandang ke arah jendela di kamarnya Simla yang tertutup rapat, kuputuskan untuk menuruni anak tangga dan menuju samping rumahnya Simla.
“Simla, kau sudah tidur?” Panggilku dengan suara pelan, di bawah jendelanya. Tidak ada respon dari atas, aku hendak pergi tapi suara jendela yang terbuka menghentikan langkahku. Aku melihat ke atas dan wajah Simla terlihat menarik dikeremangan sinar bulan.
“Bicara yang pelan, Eyang bisa mendengarmu. Ada apa?” Tanya Simla dengan suara sedikit ditahan.
“Ayo kita bicara.”
“Bicara saja.”
“Bukan di sini, bodoh!”
“Aku tidak bisa meninggalkan rumah.”
“Kenapa tidak?”
“Sedang dipingit.”
“Tadi keluar.” Kataku bingung.
“Mulai malam ini.”
“Serius? Abaikan saja.”
“Tidak bisa. Ini tradisi.”
“Sejak kapan kau peduli pada tradisi?”
“Sejak aku akan menjadi perempuan.” Jawab Simla lirih.
“Memangnya selama ini kau ini apa? Cepat turun, di sini sangat dingin.” Perintahku tegas.
“Aku tidak boleh meninggalkan rumah, Eyang melarangku ke mana-mana. Sepertinya kak Alam yang memintanya untuk itu.”
Mendengar Simla menyebut nama Alam membuatku langsung marah. Apa yang dia minta pada Eyang? Untuk tidak membiarkan Simla bertemu denganku? Alam sialan. Dia pikir siapa dirinya bisa mengatur Simla seperti ini? Kita lihat saja, pengaruhnya siapa yang lebih kuat? Aku, atau kamu.
“Turun atau kau tidak akan pernah melihatku lagi.” Ucapku, ini andalanku. Aku tahu, Simla tidak akan tahan.
“Jangan berbicara keterlaluan.” Kata Simla dengan raut wajah sedih, dia memang tidak akan tahan.
“Kunci kamarmu dari dalam, Eyang akan berpikir kau ada di dalam.” Kataku melunak, Simla beranjak mengunci kamarnya dan dia kembali ke jendela, kini dia memakai sweaternya. Baju yang dia pakai tadi pagi belum dia lepaskan.
Simla bersiap-siap untuk keluar lewat jendela, aku hendak membantunya, tapi dia telah lompat begitu saja. Seberapa sering pun aku melihat dia melompat, aku tetap syok.
“Bisakah kau hentikan kebiasaan yang suka terjun dari atas?”
“Akan kuubah saat aku benar-benar menjadi perempuan.”
“Berhenti bicara seperti itu. Kau ini sudah perempuan, sejak kau lahir. Kecuali selama ini kau memang bukan perempuan dan hendak operasi plastik untuk merubah jenis kelamin.”
“Kasar sekali bicaramu. Ini menyakitiku.”
“Menyakitimu? Memangnya kau punya hati untuk disakiti?”
“Keterlaluan. Kau─”