Aku dan Simla berdiri mematung, tidak berani menatap satu sama lain. Yang tadi itu benar-benar reflek, semua yang kulakukan seolah tanpa perintah dan persetujuan dari akal sehatku. Apa tadi, sesaat, aku menjadi gila? Tidak, aku terbawa suasana. Lihat, bulannya sangat besar, sedikit tersembunyi malu di balik awan, anginnya—meskipun dingin, berhembus sepoi-sepoi. Pasti karena itu, aku jadi bergerak melakukannya.
Aku sendiri pun tidak menduganya, akan mengatakannya secepat ini. Tapi aku tidak punya waktu, tidak bisa kuutarakan setelah dia menikah—jika itu akan terjadi. Tidak bisa mengutarakannya sehari sebelum dia menikah, aku tidak akan punya waktu untuk rencara selanjutnya. Jadi, mungkin inilah saat yang tepat.
Aku lega. Aku melangkah maju, setidaknya ada pergerakan. Sementara, untuk rencana selanjutnya, harus kubicarakan dengan Simla. Aku butuh dia untuk melakukannya bersamaku.
“Aku …” Simla akhirnya bersuara. Aku menatapnya sekilas, lalu menunduk lagi. Masih malu.
“Aku merasakan nafasku berat.” Katanya kemudian. Aku menatapnya terkejut dan sedikit takut.
“Kau sakit?”
“Tidak. Hanya masih belum percaya dengan apa yang baru saja aku alami. Rasanya ini terlalu mustahil untuk menyadi nyata. Jadi aku berpikir bahwa aku sekarang sedang tidur lalu bermimpi.”
“Ya?”
“Tapi masalahnya, udara di sekitarku terasa sangat dingin, pastilah aku baru bermimpi lalu terbangun. Tapi kejadian yang tadi terlalu nyata untuk di sebut mimpi. Aku merasakan semuanya. Tapi jika bukan mimpi, kejadian tadi terlalu mustahil untuk dianggap nyata. Jadi aku pasti sedang … berkhayal?”
Aku memperhatikan tingkah laku Simla tanpa mengucapkan sepatah katapun, aku tahu Simla itu aneh. Keanehan yang ada dalam diri Simla adalah keanehan yang menarik, banyak orang yang tergoda dan tertarik lebih dalam untuk mengetahuinya. Dan terkadang Simla menjadi sangat transparan sehingga aku bisa dengan mudah mengetahui apa yang ada dalam pikirannya.
“Aku tidak akan melakukan hal yang sama untuk kedua kalinya dalam waktu yang singkat. Jadi sebaiknya kau berpikir bahwa ini nyata!” Bisikku lagi.
Simla bergerak panik dan mundur beberapa langkah kebelakang menyadari kegugupan menguasai akal sehatnya. Aku tidak pernah melihat dia seperti ini sebelumnya, seumur hidupku.
Dia kemudian berlari sekencang mungkin meninggalkanku yang memandanginya menjauh. Dia meninggalkanku, sendirian. Jantungku masih berdetak. Aku sudah gila. Hari ini juga gila.
Aku tersenyum. Senyuman yang tidak pernah kutunjukan kepada Simla sebelumnya.