Aku Tidak Jatuh Cinta

Nine
Chapter #14

Bagaimana Kita Menghadapinya?

Kami berhenti, tiba di tempat tujuan dan aku melepaskan tangannya. Kami berdua diam sejenak sebelum mengambil posisi untuk duduk—sama-sama gugup.

 “Di sini sangat nyaman.” Kataku pelan.

Aku dan Simla duduk bersandar di sebuah batu besar yang berada di pinggir sungai yang menghadap ke arah air yang mengalir. Simla memainkan-mainkan air yang mengalir di depannya. Aku memandanginya dari samping tanpa dia menyadarinya.  

Angin dari arah selatan dengan lembut membelai rambutnya yang agak berantakan, Simla perlahan menyentuh air di depannya dan membasuh wajahnya, lalu mengikat rambutnya dengan beberapa helai rumput di dekatnya. Kemudian dia bersandar, menyadari aku memperhatikannya buru-buru dia membuang wajahnya, menatap langit jauh di atasnya. Dia menghela napasnya dan membuangnya perlahan. Gerakannya kaku, aku tahu, dia gugup. Sama sepertiku.

Sekarang, kami sudah tidak bisa seperti sebelumnya lagi—setelah apa yang terjadi semalam. Hubungan kami sudah mengarah ke tempat lain. Apa ya sebutannya, pacar?

Sebelum memikirkan itu, ada yang lebih penting. Eyang. Aku harus membicarakannya sekarang dengan Simla.

“Apa yang harus kulakukan, Simla?” Tanyaku, mulai bernegosiasi.

“Apanya?” Tanya Simla bingung.

“Tentang kita.”

“Tentang kita? Ada apa dengan kita?”

“Ada… banyak hal.”

Dia ini bodoh ya? Padahal di sekolah selalu juara satu.

 “Simla, sepertinya aku tergila-gila padamu!” Kataku, wajah Simla seketika memerah. Kata-kata itu keluar begitu saja dari mulutku, kini, aku tidak berani menatapnya untuk melihat reaksinya lagi.

“Itu a-aneh.” Kata Simla. “Bukankah kau sering mengatakan kalau aku ini ... ‘lancang’?”

“Ya. Aku lupa mengatakan padamu, kalau sifat lancangmu itu ... sangat menarik.”

“Dasar aneh.”

“Hahaha. Yang aneh itu kamu.”

Tiba-tiba saja Simla menatapku, raut wajahnya sulit kutebak. “Ada apa?” Tanyaku.

“Ini pertama kalinya aku melihatmu tertawa seperti itu.”

“Benarkah? Aku tidak sadar.” Kataku, menunduk lalu menatapnya. “Kau menyukainya?”

“Hmmm. Kupikir begitu, aku selalu ingin melihatnya.”

“Dasar mesum.”

“APANYA?” Suara Simla sedikit meninggi, lalu aku tertawa lagi, dan Simla tersenyum. Rasanya aku sudah lama tidak melihat Simla tersenyum semanis ini.

“Venus ...” Dia bicara lagi, raut wajahnya lebih serius.

“Hmmm?”

“Mengenai pernikahanku dengan Alam ...”

“Ada apa dengan itu?”

“Apa kau menyetujuinya?”

“Kau bicara apa? Tidak mungkin, kan? Kau ingin aku menyetujuinya?”

“TENTU TIDAK!”

“Lalu kenapa bertanya seperti itu?”

Lihat selengkapnya