Saat makan malam berlangsung, aku terus saja melirik ayah. Kali ini dia mengabaikanku, dia tidak menyadari sedikit pun akan kegelisahanku—atau mungkin pura-pura tidak menyadarinya. Aku ingin bicara dengannya, berbicara sesuatu yang sangat serius.
Kutarik nafas dalam sebelum mengungkapkan keinginanku dan sedikit batuk-batuk kecil. Karena ini adalah masalah yang sensitif dan—asmara.
“Ayah ...”
“Hmm, ada apa?” Katanya tanpa mengalihkan perhatiannya, dia sangat menikmati makan malamnya.
“Tolong ... Venus.”
“Tentang apa itu? Katakan saja.” Katanya santai. Bisa tidak menanggapiku lebih serius lagi?
“Ini masalah—”
“Kau butuh uang?”
“Tidak.”
“Lalu?”
Ayah masih sibuk dengan makanannya, seolah tidak ada perhatian, akan apa yang hendak kusampaikan. Kalau begitu, langsung kukatakan saja.
“Ayah!”
“Ya? Katakana saja.”
“Lamar Simla untukku.”
PUUFFF!!! Ayah memuntahkan semua makanan di mulutnya, melongo menatapku tanpa sepatah kata pun. Teraaaamat sangat lama. Aku menunggu reaksinya, tapi tidak ada yang terjadi. Dia terlalu syok.
Aku juga diam, dengan tatapan menantang. Maksudnya, aku tidak akan menarik kembali kata-kataku, aku juga serius—tidak ada maksud bercanda sedikit pun. Dan aku, tidak takut.
Jadi, aku akan menunggu sedikit lebih lama lagi, sampai, jantungnya normal kembali.
Lalu, beberapa waktu kemudian.
“Berapa umurmu Venus?” Tanyanya, kemudian. Pada akhirnya ada suara.
“19 tahun 6 bulan.” Jawabku percaya diri.
“Kau belum pantas berbicara soal lamaran.” Katanya dengan pelan—sedikit mengejek, ada penekanan dan sedikit kemarahan—juga pemahaman.
“Kenapa? Ayah mengatakan dalam tradisi, jika sudah mencapai umur 16 tahun kita sudah bisa menikah.”
“Itu tradisi keluarganya Simla, bukan tradisi keluarga kita. Maksudku, ayah tidak peduli dengan tradisi kerajaan atau apapun itu, karena kita bukan bagian dari mereka. Selain itu, di mana sopan santunnya Venus? Simla sudah di lamar oleh orang lain–mereka sudah menetapkan tanggal pernikahannya. Kau ingin menghancurkan semua itu hanya karena… egomu? Kau pikir, Eyang akan menerima lamaranmu.” Kata ayah.
Pernyataan dan pertanyaannya, susah dibantah dan dijawab.
Tapi, aku yakin ada satu kalimat yang bisa mematahkan semua itu. Aku memang sembilan belas tahun, masih muda, tapi bukan anak kecil.
“Aku mencitai Simla, ayah.” Kataku dengan penuh keyakinan, malu, tapi terpaksa.
“Ayah tahu itu.” Jawabnya santai. Serius? Waaah, semakin malu saja.
“Ayah ... tahu? Sejak kapan ayah tahu?”
“Sebelum kau sendiri menyadarinya, bodoh.” Kata ayah—yang bahkan mengatakanku bodoh.
Ya, aku memang bodoh. Apa selama ini sekentara itu?
“Lalu kenapa ayah tidak melakukan sesuatu, soal ... pernikahannya?”
Hal ini memang perlu diprotes. Aku anaknya, kenapa tidak melakukan sesuatu untuk kebahagiaan anaknya? Setidaknya, jauh sebelum Simla menerima lamaran Alam, kenapa tidak mempengaruhi Simla untuk menolaknya saja? Sekarang, nasi hampir menjadi bubur.